When i think about happiness, it's true that it comes from the smallest thing in our lives. But is it always true? Apakah konsep ini berlaku sepanjang kita hidup? Mungkin ya, mungkin saja tidak. Biasanya nih, anak muda zaman sekarang paling sering mengglorifikasi soal "rules of life" (even if this kind of thing exists), semacam; apakah kita bisa hidup bahagia tanpa uang?; atau apakah sebetulnya uang bisa memberi kita impian yang konyol dan kehidupan tanpa penderitaan? Lalu sering khawatir bahkan sebelum memulai garis start pertamanya.
Before we move on, i need to clarify something. Gue nggak sedang membahas tentang kebahagiaan secara general. Membicarakan soal kaitan uang dengan kebahagiaan nggak berarti gue nge-dismissing fakta bahwa rasa bahagia itu besar sekali maknanya, bahkan tanpa harus diselubungi dengan hal-hal berupa materi. Also, gue rasa kita perlu meluruskan beberapa hal di awal, bahwa frasa "money can't buy happiness" yang akan gue mention di postingan ini, nggak pernah gue maksudkan secara literal. Ini hanya konotasi, after all. If you disagree about what i writes on this topic, it's very okay. Your opinion could be different than mine, and this might sounds contradictory to my previous post which tells about finding your own happiness through the silly dreams that you might have had since you were kids, but let me explain further.
Sebagai manusia normal, rasanya kita tidak bisa mengelak bahwa hampir setiap waktu, kita perlu uang untuk memenuhi kebutuhan akan rasa aman dan nyaman dalam berkehidupan. Tidak hanya kebutuhan primer, sekunder, namun juga tersier yang seringkali perlu untuk disokong. Kita memerlukan uang untuk bayar tagihan, belanja kebutuhan seperti pangan, sandang (bahkan ketika seseorang memiliki gaya hidup minimalis), lalu untuk bayar air, bayar token listrik, kuota internet, hingga sekadar beli bensin untuk kendaraan yang digunakan sehari-hari. Semua aspek dalam hidup kita seakan-akan tidak bisa digerakan tanpa kehadiran uang, dan banyak sekali permasalahan hidup yang bisa diselesaikan dengan uang. Bahkan dalam kondisi pandemi seperti ini, perekonomian negara tidak bisa dihentikan sementara hanya untuk lockdown, karena efek jangka panjang yang ditimbulkan mungkin akan lebih buruk dari yang bisa kita kira. Mengapa? Alasan paling dasarnya semata-mata karena kita membutuhkan uang untuk hidup, terlebih dalam situasi sulit seperti saat ini. Most people do.
Kenyataan ini didukung oleh data yang dikumpulkan peneliti Universitas Princeton pada tahun 2010, bahwa rata-rata dari 450.000 orang dewasa di Amerika Serikat memiliki perasaan sedikit lebih bahagia ketika dikaitkan dengan uang atau pemasukan. Dapat dikatakan bahwa orang yang memiliki pendapatan sekitar $70.000 per tahun cenderung lebih bahagia daripada mereka yang menghasilkan sekitar $40.000 per tahun. Perbedaan yang tidak besar, namun signifikan secara statisik. Kualitas emosional ini dinilai dengan pertanyaan yang meminta mereka untuk memikirkan tentang kondisi di hari-hari sebelumnya dan menilai seberapa banyak kebahagiaan dan kenikmatan yang dialami, hingga seberapa banyak mereka tersenyum dan tertawa.
Selain itu, peneliti juga mengatakan bahwa manusia sulit untuk benar-benar bahagia jika hidup dalam kemiskinan. Jika kita selalu merasa lapar, kedinginan, dan tinggal di lingkungan yang tidak aman atau selalu berutang uang kepada seseorang, rasanya kebahagiaan bisa sulit dipahami. Contoh lain adalah ketika kita memiliki masalah kesehatan sementara tidak memiliki cukup uang untuk pergi ke dokter (tidak semua orang punya BPJS), kemungkinan besar ada dua kekhawatiran yang mesti dihadapi—kesehatan dan uang.
Di bawah tingkat pendapatan tertentu, orang miskin sebenarnya kurang bahagia dan kurang puas dengan kehidupan mereka daripada kebanyakan orang. Terlebih ketika mereka tidak menemukan adanya quantum leaps atau penghasilan yang meningkat signifikan setiap harinya, bahagia seakan hanya jadi ilusi. Mungkin, dalam kondisi seperti inilah bahagia datang dari hal yang sederhana. Tapi, apakah pada akhirnya itu cukup untuk mengenyangkan perut kita? Apakah hal itu cukup untuk membayar tagihan yang menumpuk? Tidak juga.
Baca juga: Matre: Realistis atau Materialistis?
Uang Bikin Bimbang
Yah, kita bicara fakta saat ini. Memang, manusia sudah sepatutnya banyak bersyukur dan tabah dalam menghadapi cobaan hidup yang datang silih berganti, karena pada kenyataannya tidak semua hal bisa dinilai dengan materi. Namun, sebagaimana manusia yang selalu butuh validasi, adakalanya kita selalu berusaha untuk mencari pembenaran atas hal-hal yang kita lakukan ketika belum berusaha sepenuhnya. Misalnya, seseorang yang sering mengeluh karena mendapatkan gaji kecil dan pas-pasan, sementara apa yang didapatnya itu tak lain karena usaha yang kurang maksimal. Lantas untuk meyakinkan diri bahwa ia sudah hidup lebih baik, seseorang ini hanya berlindung di balik kata "syukur" tanpa benar-benar memaknainya. Sebab ada orang yang pandai bersyukur, kemudian bekerja lebih keras di hari esok, begitu seterusnya. Namun ada juga orang yang bersyukur, tapi tidak diiringi dengan usaha yang lebih keras karena tidak tahu caranya memberi limit terhadap diri sendiri.
Terlebih untuk yang usianya masih muda dan prima, rasanya memalukan berpikir tentang "cukup" ketika kita bisa melakukan sesuatu yang lebih lagi untuk kebaikan diri sendiri maupun lingkungan sekitar, sebagai bekal di masa depan nantinya. Iya, sebagai generasi digital, gue tahu banyak anak muda yang sedang mengalami dilema semacam ini. Go for it, or give it up. Sama halnya dengan perkara menentukan passion atau main job, dan idealisme dengan realita.
Bukan Soal Privilege
Selain bisa mengurangi kegelisahan dalam hal financial, dengan uang kita juga bisa "membeli" banyak pengalaman yang tidak terlupakan. Contohnya, traveling ke berbagai daerah atau negara, menonton pertandingan bola, menyaksikan drama musikal di suatu tempat atau bahkan di Broadway, atau kalau dikerucutkan lagi, sesederhana menikmati suasana yang menenangkan di pinggir danau seberang kota. Do we only need a cent of money? Obviously, we don't. Meskipun kita tidak perlu mengeluarkan banyak uang untuk membeli pengalaman tertentu, paling tidak sejumlah uang yang lebih besar bisa membantu kita menikmati pengalaman dengan perasaan nyaman.
Uang juga memungkinkan kita untuk dapat memberikan kebahagiaan dalam bentuk lain terhadap orang-orang yang lebih membutuhkan. Jadi, tidak semata-mata selalu untuk memenuhi ego manusia akan pemenuhan kebutuhannya. Serta kita juga bisa memiliki akses dalam mempelajari hal-hal baru dengan fasilitas yang lebih mendukung. Siapa disini yang senang menggambar dan tergiur ingin membeli alat berupa procreate agar hasil gambarnya dapat lebih maksimal? Atau, adakah yang ingin bisa memiliki alat rekam khusus dengan kualitas mumpuni bagi yang sedang mengolah kemampuan suara? *Ehm, itu.. keinginan gue, sih😅.
Kebanyakan orang juga menemukan kebahagiaannya tersendiri ketika bisa memenuhi kebutuhan hidup keluarga dan membahagiakan orang-orang yang disayang secara materiil dengan jerih payahnya. At the end of the day, it's about money, isn't it?
So, apakah sebetulnya uang bisa "membeli" kebahagiaan? Yap, kalau kita bisa memanfaatkan dan mengelolanya dengan cara yang benar. Namun apakah kita harus menjadi kaya untuk bisa bahagia? Ini dia yang harus gue luruskan. Kenyataannya, kebahagiaan memang bukan bersumber dari uang. Apalagi jika semakin banyak uang di dalam tabungan kita, maka semakin banyak kita berinvestasi, dan semakin besar kerugian, serta rasa stress yang mungkin akan kita dapatkan. Mungkin ini sebabnya Jeff Bezzos tidak lagi merasa antusias ketika perusahannya mendapatkan keuntungan jutaan dollar yang berkali lipat. Walaupun hal ini tidak menutup kemungkinan bahwa orang yang memiliki gaji 400 juta per tahun tidak lebih menderita daripada orang yang hanya mampu menghasilkan uang sebesar 70 juta per tahun, begitupun seterusnya. Toh, banyak millioner yang ujung-ujungnya memilih "sengsara" dalam kekayaan daripada sengsara dalam kemiskinan.
Beberapa di bawah ini gue kutip sedikit potongan diskusi dari postingan Instagram influencer favorit gue, Fellexandro Ruby, yang kebetulan membahas topik serupa beberapa waktu lalu, agar postingan ini tidak terasa begitu saklek dan satu arah. Well, sharing is caring!
Yes, it is the phase of our life that helps us see things clearly and takes us to the next (financial) journey. |
Baca juga: Menjadi Manusia
Pada intinya, ini bukan menyinggung tentang privilege atau tidak mensyukuri rezeki yang didapat, melainkan lebih kepada menyadari realita bahwa kita bisa menikmati hal-hal yang orang ber-uang miliki tanpa harus kaya dan punya privilege, dan kita juga harus yakin untuk bisa memperoleh rezeki yang lebih jika kita tidak hanya bersyukur dan berserah, tapi berusaha sebaik-baiknya kemampuan diri.
Namun dari diskusi singkat di atas, kita juga perlu mengingatkan diri sendiri untuk tidak memetakan kebahagiaan hanya pada materi. Seperti yin dan yang, alangkah lebih baik jika semuanya dilakukan dengan seimbang, tidak berlebihan. Gapapa bekerja keras selagi kuat, but just don't push yourself so hard that you can't even enjoy your hard-earned money and the time you have. Karena gue yakin mindset kita terhadap uang juga perlu untuk direm sesekali agar tidak gelap mata.
Tulisan ini gue buat bukan untuk mengajak teman-teman menjadi money-oriented atau materialistis, gue hanya ingin mengingatkan diri sendiri dan mungkin teman-teman sebaya yang sedang mengalami quarter life crisis (atau masalah pelik soal keuangan), bahwa underprivileged bukan alasan untuk kita bertahan dalam victim mentality dan berlindung di balik kalimat "money can't buy happiness". Uang bisa "membelikan" kita beberapa hal yang membawa rasa kebahagiaan kok, ketika dilakukan dengan cara yang tepat sesuai takaran kita. Oleh sebab itu, jangan berhenti menyerah within your limit, and don't mind about other people's life—being salty about privilege, etc.
Berhenti membandingkan diri dengan orang lain, tinggalkan medsosmu untuk sementara waktu jika perlu, dan.. jangan sampai memberi afirmasi terhadap diri sendiri dengan cara yang salah yang malah bisa mengendurkan limit yang kita punya.