First of all, gue harap nggak ada yang salfok lagi ya sama judulnya since it looks a bit controversial kayak postingan Kiamat Sudah Dekat😆. Again, akhir-akhir ini tiap gue publish tulisan tuh pasti tau-tau udah menginjak bulan baru aja. So i have to start this post with regret karena bulan kemarin cuma bisa nerbitin satu tulisan, padahal tadinya pingin bisa capai 100 post in total, hiks *menangis di pojokan*.
Emangnya apa sih, Awl, yang bikin kamu nggak bisa stay up to date di mari?
Well, banyak alasannya, but one of them is I'm trying to catch up all of the badminton tournament this few months yang bener-bener berhimpitan tiada henti sejak Sudirman Cup—sebagai penonton, definitely. Gue nggak ingat apakah sebelumnya pernah bilang kalau gue penikmat olahraga badminton atau belum, tapi gue akan share lengkapnya disini (cause I have no idea what to share this time).
Bisa dibilang gue adalah pencinta bulutangkis sejak masih di bangku SD, mungkin sekitar tahun 2008 atau 2009? Saat itu Taufik Hidayat masih jadi tunggal putra unggulan kita, karena beliau pensiun pada tahun 2011. Gue ingat banget gimana riuhnya Istora tiap kali ada Indonesia Open, dan tiap kali ditayangin di TV. I was so excited! Karena selain Indonesia Open, dulu tuh susah banget buat dapet tayangan khusus pertandingan bulutangkis. Gue harus nunggu major event semacam Sea Games atau Asian Games dulu yang diadakannya hanya beberapa tahun sekali, baru bisa nonton bulutangkis.
Jujur, dulu gue nggak begitu ngerti istilah-istilah atau teknik permainan yang belaku di dalam cabor ini, mungkin karena masih terlalu kecil buat bisa langsung paham, terlebih ekstrakurikulernya bukan yang paling diminati di sekolah. So, yang gue tau bulutangkis ini satu-satunya olahraga yang bisa dimainkan oleh mayoritas orang Indonesia (even kalau nggak punya raket, pake benda datar lain juga bisa lho main tepok bulu! Gue pernah coba pakai buku tulis soalnya😝). Berbeda dengan sekarang, semua informasi bisa gue akses di internet. Bahkan nggak cuma soal teknik permainan segala macam, tapi juga tentang sejarah bulutangkis dan para pemain legendanya sendiri bisa dengan mudah gue cari. Gue pun bisa terhubung langsung dengan pemain-pemainnya di media sosial, dari yang atlet nasional, sampai para atlet mancanegara—walaupun mereka nggak notice keberadaan gue di antara sekian ratus ribu orang, haha.
Seiring beranjak dewasa, ternyata bulutangkis masih menjadi satu-satunya olahraga yang gue cintai, termasuk para atlet kebanggaan kita. Bisa dibilang badminton ini satu-satunya cabor yang bikin jiwa nasionalis gue makin berapi-api when it comes to 🇮🇩. Dan di tahun ini, to be honest menjadi tahun yang paling mengharukan untuk sejarah bulutangkis Indonesia. Nggak cuma buat gue, tapi juga mungkin teman-teman badminton lovers di luar sana.
Selain meraih medali emas dari Greysia/Apri, pasangan non-unggulan yang berhasil menciptakan sejarah (the first gold medal for Indonesia's Women's Doubles), dan berhasil mendapatkan medali perunggu Olimpiade dari sektor tunggal putra (bahkan juga perak dari Paralimpiade), tim Thomas kita akhirnya bisa menjemput kembali piala Thomas di Denmark pada Oktober lalu, setelah penantian selama 19 tahun lamanya sejak Indonesia memenangkan Thomas Cup. Setahu gue, ini merupakan pencapaian yang terbaik sejak tahun 2008, dimana saat itu Indonesia terakhir kalinya berhasil membawa medali Olympic dari tiga sektor, yakni MD (Gold: Hendra Setiawan/Markis Kido), XD (Silver: Nova Widianto/Liliyana Natsir), dan WS (Bronze: Maria Kristin).
Sebagai salah satu yang mengikuti perjalanan mereka di tahun ini, gue bisa lihat bahwa kemenangan Thomas Cup semacam jadi moment of relieve untuk kontingen Indonesia. Pencapaian ini juga seakan menjadi jawaban yang bisa membungkam jari-jari julid di luar sana tentang prestasi atlet kita yang dianggap merosot. Jawaban bahwa mereka masih bisa bangkit, di tengah keterpurukan pasca Olimpiade dan kekalahan di Perempat Final Sudirman Cup. Perasaan lega itu, secara nggak langsung bisa gue rasakan ketika melihat wajah-wajah mereka di podium, terlepas dari bendera merah putih nggak bisa dikibarkan.
Gimana nggak, semenjak mengalami kekalahan di Sudirman Cup lalu, beberapa atlet kita banyak dianggap meragukan oleh sebagian masyarakat, karena hasil yang terlihat nggak konsisten meski datang dengan tim terbaik. Begitupun tim Thomas beregu kita, yang meskipun ada di daftar tim unggulan kesatu, tapi perjalanannya begitu terjal untuk bisa menjadi juara grup, perempat-final vs Malaysia, semifinal vs Denmark, hingga sampai di final melawan China.
Lalu soal Minions yang lagi under-performed, JoJo yang dianggap kurang konsisten, The Daddies yang mulai kesulitan keep up dengan opponent dalam hal speed, hingga berada dalam 'grup neraka' karena harus menghadapi Taipei yang sedang on fire, dan juga Thailand yang seringkali datang dengan kejutan. Oh iya, satu hal lagi yang membuat perjalanan tim Thomas Uber Cup kita semakin spesial dan emosional adalah, kehadirannya seakan membayar keputusasaan kami terkait permasalahan di turnament All England bulan Maret lalu.
Buat yang belum tau, waktu itu atlet-atlet kita dipaksa berhenti dari pertandingan karena diketahui berada dalam satu pesawat yang sama dengan pasien positif covid19 dan harus menjalani karantina selama 14 hari di hotel. Sementara atlet-atlet dari negara lain yang juga berada dalam satu pesawat, nggak diminta untuk mundur dan bisa melanjutkan pertandingan.
Well, glad they finally did it! And I am touched by their journey and fighting spirit on court (I even cried for an hour when I'm watching them). Perjalanan singkat ini yang bikin gue makin terhubung sama bulutangkis dalam beberapa minggu terakhir, setelah setahun lamanya break gara-gara covid19. Gue mulai kembali mantengin turnament mereka di Eropa, dari mulai Denmark Open sampai Hylo Open kemarin di Jerman. Gue juga sampai sempetin rewatch tayangan-tayangan related to badminton di YouTube, termasuk interview-nya atlet-atlet legend seperti Ardy Wiranata, Mia Audina, Tan Tjoe Hok, Tony Gunawan, Hendrawan, Chandra Wijaya, Coach Naga Api alias Herry IP dan masih banyak lagi (yang sebagian dari mereka kini bekerja sebagai pelatih di luar negeri).
Bahkan gue juga ngikutin channel YouTube-nya Hendra Setiawan, BadmintonTV, Anders Antonsen, Yuta Watanabe dan Popor Sapsiree. Mereka ini atlet bulutangkis yang memang eksis juga buat vlog di channel masing-masing, wk. Kayaknya seru aja gitu kalau bisa lihat keseharian mereka off court, especially how they interact each other dengan pemain dari negara lain. Jadi nih, buat yang suka war di internet, atau siapapun yang nyangka atlet kita musuhan sama lawannya, you guys totally wrong! Interaksi mereka malah kadang sweet dan kocak abis😆. Ada yang sahabatan juga kayak Popor dan Greysia (dan pemain women's doubles lainnya dari Korea). Gue berharap dukungan teman-teman di internet bisa memberi nilai positif untuk para atlet yang bertanding (nevermind about haters please!).
Setelah dari Hylo Open minggu lalu, mulai kemarin atlet-atlet bulutangkis di dunia sudah berkumpul di Indonesia Badminton Festival yang diadakan di Bali, yuhuuuu🥳 Festival ini dihelat dalam rangka penyelenggaran tiga turnamen BWF sekaligus, yaitu Daihatsu Indonesia Masters S750, SimInvest Indonesia Open S1000, dan BWF World Tour Final sebagai penutup dari rangkaian turnamen BWF sepanjang tahun 2021. Kabarnya atlet-atlet ini berada dalam sistem bubble selama satu bulan kedepan di The Westin Resort Nusa Dua, Bali. Nggak sabar banget gue pingin lihat pertandingan mereka nanti🤩
Teman-teman jangan lupa nonton match mereka di MNCTV dan iNews ya mulai tanggal 16 November! Kalau yang pakai layanan streaming atau TV kabel juga bisa akses di BWF TV (pakai VPN😁), RCTI+, Vision, Champion TV dan UseeTV. Yuk, kita dukung atlet-atlet kebanggaan kita🥳
o-o
Anyways, teman-teman disini adakah yang penyuka bulutangkis juga? Atau jangan-jangan kita sama-sama BL garis keras?😍