Sepertinya udah terlampau sering gue mention soal kehidupan personal yang gak terlalu suka berteman dengan banyak orang, agak pilih-pilih dan individualis, tapi gak pernah sekalipun gue mention betapa gue sangat menghargai pertemanan. Sebuah rasa yang gak bisa dengan mudah diekspresikan dan gak jarang salah diinterpretasikan oleh teman-teman gue.
Kehilangan tampaknya selalu jadi musuh buat setiap orang, karena sifatnya selalu melekat dengan perpisahan. Akhir-akhir ini gue sedang merasa kehilangan sosok-sosok terdekat yang dulu pernah mengisi hari-hari gue di masa sekolah. Gue punya beberapa teman dalam satu geng, dari SD sampai SMA, tapi hanya beberapa yang sampai saat ini masih get in touch, itupun jarang. Banyaknya hilang, atau yang menyedihkannya; keberadaan gue sudah dianggap tidak ada. Beberapa menghilang karena situasi yang mengharuskan kita berpencar dan hilang kontak, beberapa diputuskan oleh hubungan—yang setelah gue pikir-pikir sekarang cukup toxic sebetulnya. Dan ini adalah salah satu kenyataan dari kehilangan teman yang paling menyakitkan yang gue miliki, karena harus melibatkan perasaan orang lain bahkan sampai bikin sakit hati.
Entah kenapa dulu gue sebucin itu untuk mau aja nurut apa kata eks untuk menjauhi teman-teman gue yang menurutnya "gak cukup baik", wadda hell man. Pepatah "main dengan tukang minyak wangi akan kecipratan wanginya" seakan mengekang kita untuk hanya melihat dunia di atas hitam dan putih, karena banyak orang yang masih salah kaprah soal ini. Gue repeat ya, masih banyak orang yang salah kaprah dan gak bisa secara bijak mengartikan kalimatnya. Indeed, nasihat itu gak datang secara sembarangan karena termasuk hadits yang menjelaskan tentang cara memilih teman atau bagaimana kita menentukan pertemanan. Tapi yang gue rasa, negatifnya kebanyakan dari kita malah jadi buta mata dan hati enggan melihat sisi baik yang mungkin dimiliki si jahat. Kita jadi nggak bisa menghargai mereka-mereka yang ada di pihak antagonis karena yang kita tahu orang jahat gak boleh ditemanin—yang mana membawa kita pada sifat iblis; merasa diri lebih baik dari orang lain. Kebayang gak sih gimana rasanya memakan bulat-bulat sesuatu tanpa dikunyah lamat-lamat? Seret, sesak, sakit dada. Itu juga yang terjadi kalau kita asal melahap sesuatu tanpa mau memaknai dan menyerap maksudnya. Secara gak langsung kita akan bisa menyakiti diri sendiri akibat ketidaktahuan kita. Berkumpul dengan orang-orang sholeh adalah anjuran yang mestinya kita laksanakan, tapi gak lantas membuat kita bisa dengan mudahnya menilai orang lain berdasarkan apa yang terlihat. Remember that people can change. Orang jahat bisa berubah, pun orang baik. Allah yang Maha Tahu Maha membolak-balikan hati kita.
Gak ada yang bisa mengelak, main sama anak baik-baik yang sholeh dan sholeha, sholat tepat waktu dan rajin sedekah akan secara gak langsung membawa positive vibe untuk kita melakukan hal yang sama. Tapi sis, soal hidup gak selamanya tentang bawang merah dan bawang putih. Gak semua hal hanya tentang hitam dan putih. Ada banyak spektrum warna yang bisa kita lihat, dan bisa kita pilih yang mana yang mau kita lihat. Gue yakin Allah pun gak ingin kita merasa congkak dan tinggi derajatnya dari orang-orang yang dianggap buruk. Allah gak pingin kita mengambil alih tugas-Nya atas menghakimi perilaku manusia lain.
Sampai sekarang gue masih nggak mengerti kenapa teman-teman gue dulu ini dianggap buruk. Cara ngomongnya? Cara bergaulnya? Man, gue menemukan yang lebih buruk dari itu di dunia perkuliahan, kalau memang itu yang jadi standard penilaian. Apa teman-teman gue menjerumuskan ke dunia gelap? Nah, dunia gelap kami cuma sebatas ngerumpi di kamar tanpa diterangi cahaya lampu. Apa teman-teman gue ini bikin gue malas dan bodoh di kelas? Nggak juga, sampai gue lulus dari sekolah, gue masih jadi salah satu yang terbaik di kelas dan mungkin bawa nama baik kelas gue satu sekolah. Terus, apa mereka bikin gue menjauh dari hobi gue dan waktu-waktu produktif gue? Lagi-lagi nggak, gue tetep seneng nulis, bahkan beberapa tulisan gue dulu sebelum dipost selalu gue kasih ke temen gue, dan gak ada tuh perkataan yang melemahkan gue. Mereka selalu support gue. Beberapa pertanyaan di atas adalah ciri-ciri dari pertemanan atau hubungan yang toxic. Jadi, setelah jawaban-jawaban gue di atas, apa bisa disimpulkan teman-teman gue dulu toxic?
Katakanlah ada semacam ketakutan bahwa gue akan terbawa ke hal-hal yang negatif—yang masih gue gak ngerti bagian mana negatifnya, itupun nggak jadi alasan untuk seseorang lantas ikut campur dengan kehidupan sosial seorang lainnya. Gue kenal dengan teman-teman gue ini sebelum gue punya pacar, malahan mereka yang ngedukung gue, but was that how they got paid for being friends? Gue yang punya wewenang atas diri gue sendiri, termasuk dalam memilih teman. Even kalau memang orang-orang di sekitar gue adalah orang-orang yang dicap tidak baik, gue masih punya kuasa untuk diri gue menentukan mana yang pantas dan tidak. Gue akan bisa memilah mana yang baik dan buruk, karena gue gak sebodoh itu untuk terjebak dalam spektrum yang dengan gampangnya mengkotak-kotakan perilaku orang.
Despite all that, manusia selalu punya sisi baik dan buruk dalam dirinya. Kita punya berbagai macam jenis perasaan dan kepribadian yang kadang bisa berubah-ubah. Tukang minyak wangi gak selamanya wangi, begitupun tukang angkut sampah gak selamanya bau sampah. Di antara bawang putih dan bawang merah ada bawang bombay yang seringkali terlupakan.
Dari perpisahan yang satu itu, gue belajar bahwa memanusiakan manusia ada banyak caranya. Termasuk bagaimana kita memandang seseorang tanpa harus terkukung dalam pola hitam dan putih, serta baik dan buruk adalah salah satu cara menghargai bahwa manusia sebagai makhluk sosial dan hamba sahaya adalah individu yang tidak luput dari kesalahan dan gak selamanya suci dari dosa. Lagipula, siapa sih kita yang berhak menilai seseorang baik dan buruk? Kenapa kita gak bisa lebih luas lagi melihat segala sesuatu yang ada dan berusaha lebih bijak menyikapinya? Bukankah kehadiran kita dalam hidup siapapun adalah sebagai momen untuk saling berkembang ke arah yang lebih baik? Terkadang kita memang harus menerima realita yang ada bahwa menjadi muslim tidak berarti kita lantas sempurna, sesempurna agamanya.
Sekarang, sebisa mungkin gue mempertahankan apa yang gue punya. Kerabat, sahabat, teman-teman, entah mereka merasakan hal yang sama ke gue atau nggak, tapi yang jelas memiliki mereka sampai detik ini adalah salah satu rasa syukur gue yang gak bisa diungkapkan lewat kata-kata. Lagipula, lingkar pertemanan gue udah cukup kecil, gak sanggup rasanya kalau harus kehilangan lagi.