Pernah nggak sih, kamu ngalamin dilecehkan secara nggak langsung di ruang publik atau ketika menggunakan transportasi umum? Dilirik, dilihatin dari atas sampai bawah dengan tatapan sensual sama laki-laki—yang terlihat jelas dari tatapannya bukan seseorang yang bisa memuliakan perempuan. Lalu digangguin saat lagi jalan, disiulin, dipriwitin kayak pemain bola, ditanya-tanya sesuatu yang sifatnya personal as if kamu sengaja lagi mejeng untuk menarik perhatian mereka?
Gue pernah, bahkan sering sekali dalam beberapa bulan terakhir ini. Saking seringnya, gue sampai muak dan enggan keluar rumah kalau urusannya nggak penting-penting amat. Males juga harus bolak balik pakai angkutan umum, males meladeni sebagian sopirnya yang nggak tau bagaimana caranya beretika terhadap stranger yang kebetulan perempuan ini. Udah pakai masker, kerudung, ditambah jaket yang disleting hingga leher, dan tertutup sedemikian rupa nyatanya nggak bikin manusia-manusia mata keranjang ini berhenti menggoda cewek yang lewat dan muncul di hadapannya. Seperti yang gue bilang tadi, seakan-akan kehadiran kita disitu adalah 'hadiah' atas dahaga nafsunya yang belum tersalurkan.
Dipaksa Menguasai Pertahanan Diri
Gue termasuk cukup beruntung karena memiliki wajah jutek yang bisa gue manfaatkan dalam situasi-situasi semacam ini. Tapi lama-lama lelah juga kalau harus auto jalan ngangkang kayak ibu hamil setiap jalan melewati kerumunan bapak-bapak atau anak muda seperti mereka hanya agar gue nggak terlihat feminim di depan mereka. Dan gue rasa, gue bukan satu-satunya yang mengalami mekanisme pertahanan diri seperti ini.
Tumbuh di lingkungan yang patriarkis dengan segala stereotip gendernya terhadap perempuan, mau nggak mau membuat gue terbiasa menjalani hidup dengan penuh ketakutan. Terutama bagaimana kami seakan-akan hanya dipandang sebagai makhluk "visual", makhluk pemuas nafsu, makhluk yang dianggap seperti barang karena segala lekuk tubuhnya adalah tontonan. Meskipun, ya, gue nggak sepolos itu untuk nggak menyadari ada dari kaum perempuan sendiri yang berprofesi demikian.
Namun masalahnya, nggak semua orang demen dicat-callingin, nggak semua perempuan suka cari perhatian, nggak semua perempuan mau dideketin dan dilecehkan hanya karena dianggap menarik, nggak semua perempuan berprofesi seperti apa yang laki-laki ini pikirkan. Bahkan kalau ada orang-orang yang memang ingin terlihat menarik untuk lawan jenis, bukan berarti mereka nggak bisa dihargai. Gue rasa pelaku-pelaku pelecehan seksual dari skala kecil sampai besar ini perlu direhabilitasi dan mendapatkan pendidikan khusus tentang bagaimana seharusnya dia bersikap dan memposisikan perempuan nggak lebih dari sosok manusia yang memang faktanya punya banyak perbedaan. Dan perbedaan ini bukan untuk dimanfaatkan, tapi untuk dihormati.
Gue sangat amat lelah dengan ini semua. Bahkan jikalau gue diberikan satu saja kesempatan—yang sangat nggak mungkin—untuk mengubah dunia, mungkin gue lebih memilih untuk menghapuskan segala perasaan dan syahwat antara laki-laki dan perempuan. Biar bisa sama-sama saling jaga tuh mata dan hati.
"Auto jadi malaikat kali!"
Ya jangan dipikirin sampe jauh juga, namanya lagi nge-rant dan berandai-andai sesuatu yang mustahil bagi manusia. Kalau dilawan sama nalar memang nggak masuk, jangan, yang ada malah makin pusing.
Baca juga: How I See Feminist As A Muslim
Belum lagi serangkaian berita kekerasan seksual yang wara wiri belakangan di media secara nggak langsung semakin menambah kewaspadaan gue sebagai perempuan—dan pastinya teman-teman di luar sana. Gue jadi khawatir, dimana tempat yang aman bagi kami kalau predator-predator seksual seperti itu berkeliaran di sekitar kita? Dan bukan hanya predator itu sendiri, kita juga harus dihadapkan dengan berbagai konstruksi sosial dan stigma yang mengikat masyarakat. Bahkan banyak instansi pemerintah dan tokoh masyarakat, sampai-sampai segelintir tenaga kesehatan yang ikut mengiyakan stigmasisasi dan seksisme macam ini.
Nggak terhitung berapa banyak masyarakat—khususnya perempuan—di media sosial yang sering mengeluh mendapatkan perlakuan kurang nyaman ketika mereka harus memeriksakan diri ke dokter obgyn, ketika masalah yang dialami bukan soal kehamilan, melainkan cuma soal sembelit, menstruasi yang nggak teratur, dan serangkaian konsultasi lain terkait organ reproduksinya. Ditambah lagi kelakuan lucu polisi-polisi kita yang sangat sering bertindak nggak adil dalam mengurus kasus pelecehan, kasus pemerkosaan, kekerasan dalam rumah tangga, dan lain-lain.
Sebagai instansi yang seharusnya mengayomi dan melindungi rakyat, kebanyakan dari mereka malah ikut menghakimi korban, menutup-nutupi kasus, menyepelekan pengalaman korban seakan-akan mengusut kasus hanya akan membuang waktu mereka. Karena jawabannya apa?
"Kamu yakin? Nanti kamu sendiri lho yang menanggung malu."
"Kita nikahkan saja ya, dengan pelaku."
"Saya sih mau bantu, tapi nanti Anda siap tidak dengan segala konsekuensinya? Semisal dituduh balik dengan pasal pencemaran nama baik?"
Lha, apa ini? Gaslighting? Bukannya bantu kuatkan dan support, kok malah nambah-nambah beban pikiran korban. Seakan-akan menikahkan korban dengan rapist adalah jawaban terbaik, seakan-akan asas kekeluargaan bisa menyelesaikan semua masalah begitu saja. Memangnya lagi main koperasi-koperasian?
Coba kita rewind sejenak berita yang selama ini mencuat, ada berapa banyak kasus-kasus pelecehan atau kekerasan seksual yang diabaikan oleh aparat, sampai harus menunggu viral dulu untuk bisa diusut? Dalam catatan gue, setidaknya ada enam kasus pelecehan yang terjadi dalam beberapa bulan terakhir—yang mana terus bertambah sejak terakhir kali gue cek linimasa Twitter sore tadi. Bahkan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) pun mencatat kira-kira ada 8.800 kasus kekerasan seksual yang terjadi dari bulan Januari sampai November tahun lalu. Itu yang tercatat di laporan, belum termasuk kasus-kasus lain yang terhambat di persoalan internal keluarga, dan lain-lain.
Beberapa yang sempat ramai di media nasional, di antaranya ada kasus pemerkosaan seorang anak penyandang disabilitas rungu-wicara yang dilakukan secara beramai-ramai (gang rape) di Makassar pada awal tahun 2021, kasus pelecehan seksual di lingkungan kerja pemprov DKI Jakarta yang dilakukan oleh mantan Kepala Badan Pelayanan Pengadaan Barang dan Jasa (BPPBJ), kasus kekerasan seksual 14 anak remaja yang dilakukan oleh pemilik sebuah sekolah, hingga serangkaian kasus pelecehan seksual di perguruan tinggi yang sempat ramai beberapa bulan lalu.
Baca juga: Kenapa Kita Misoginis?
Let's Break the Bias
Pandangan seksis yang menganggap satu gender lebih superior daripada gender lainnya juga menimbulkan berbagai polemik lain seperti bias gender yang mengganggu kehidupan sehari-hari. Misalnya, perempuan dianggap nggak terlalu penting untuk bersekolah tinggi-tinggi, karena toh nantinya akan berurusan di dapur, mengelola rumah tangga, dan sebagainya—yang secara nggak langsung juga merendahkan pekerjaan ibu rumah tangga (internalized misogyny). Selain itu, perempuan nggak boleh menjadi pemimpin dalam sebuah organisasi jika masih ada anggota laki-laki di dalamnya, nggak peduli sekompeten apa perempuan ini.
Berbagai batasan-batasan yang stereotypical ini pada akhirnya hanya akan mematikan mimpi-mimpi ribuan anak perempuan yang ingin memiliki kehidupan lebih layak dengan meng-upgrade diri mereka sendiri. Sadar nggak, sih? Lingkungan masyarakat kita sudah sering mengingatkan agar anak-anak dan pemuda pemudinya bisa memiliki taraf kehidupan yang lebih baik, bisa sukses dan menjadi orang yang berguna, tapi sekali saja anak mereka melangkahkan kaki untuk mendobrak stigma-stigma, mereka juga yang menghentikan langkahnya. Langkah-langkah kecil yang berharap bisa sampai di suatu perubahan.
Oleh karena itu, International Women's Day yang diperingati pada tanggal 8 Maret lalu mengusung tema #BreakTheBias, seolah menjadi penggerak sekaligus pengingat bagi siapapun bahwa berbagai bias gender yang dilanggengkan terhadap kaum perempuan selama ini sebetulnya telah memberi pengaruh yang begitu besar tentang bagaimana pandangan-pandangan masyarakat selama ini terbentuk.
We want to remind everyone that it's not about wanting to be the first or to be the most powerful over men, but simply wanting the justice we deserve, not just as women, but as human beings—in the name of humanity. Setara bukan berarti melawan kodrat dan memaksa untuk sama, despite segala perbedaan biologis yang dimiliki laki-laki dan perempuan. In my humble opinion, setara berarti seimbang. Nggak ada lagi bias, nggak ada lagi superioritas tanpa batas, nggak ada lagi interseksionalitas terhadap perempuan, nggak ada lagi sistem patriarkis yang menempatkan perempuan sebagai sosok manusia yang nggak punya pilihan, nggak ada lagi kesenjangan dan ketidakadilan sosial terhadap perempuan (atau bahkan kelompok marjinal) di tempat kerja, dan nggak ada lagi pandangan seksis terhadap siapapun.
To those who think sexism is normal and should be considered as something understandable, basi lo! Let's break the bias, as much as we want changes.
References:
HitsSuara.com: Nakes Dianggap Judgmental ke Pasien KB
CNN Indonesia: Marak Kekerasan Seksual Sepanjang 2021