Hola, first of all, i'm really sorry if the last podcast was too deep or too dark to hear, that maybe some of you were a little surprised by the topic. Gue harap teman-teman mengerti maksud gue, bahwa selayaknya episode yang lain, Rasanya Jadi Tuhan juga tidak lain hanyalah salah satu bahan refleksi, khususnya buat gue pribadi. Sesederhana itu. Sekarang, gue ingin menyampaikan sesuatu yang lebih ringan untuk teman-teman. Mungkin tidak istimewa, tapi semoga memberi arti.
Ah iya, sebelum itu.. selamat menunaikan ibadah shaum bagi teman-teman semua yang menjalankan! Semoga hari-hari kita semakin terisi dengan lebih penuh dan bermanfaat untuk orang-orang di sekitar. Jangan lupa untuk selalu jaga kesehatan, dimulai dari aktivitas sehari-hari seperti pola makan dan pola tidur yang cukup ya, mantewman😊.
Now, enjoy!
Sepasang Sepatu
Kau tahu, tidak? Kadang kala, di balik sosok yang kuat, mandiri dan tegar, ada bayangan lain sebagai penyangga di belakangnya. Seperti sebuah kanvas yang bersih nan suci, atau kanvas yang sudah terisi penuh dengan warna, pasti selalu ada kayu penyangga di baliknya, agar siapapun yang melihat, bisa mengamatinya dengan jelas. Sosok yang menjadi rumah, di kala ia lemah. Yang menjadi tempat berteduh, di kala hatinya terasa keruh. Yang menjadi tempat bercerita, di kala ia sedih dan bahagia. Dan yang menjadi tempat bersandar, di kala pundaknya tak sanggup lagi berpura-pura tegar.
Kurasa kita semua punya sosok ini. Bahkan jika itu adalah diri sendiri. Dan dalam kondisimu, mungkin pada awalnya seperti ini. Kemana-mana sendiri, sepi, setiap kesedihan dirangkul sendiri, ditahan seorang diri. Hanya carik diari yang menemani. Sebab hanya kesenangan yang bisa dibagi.
Tak ingin jadi benalu, atau jadi penghalang atas bahagia orang lain. Bukan berarti keluarga tak penting lagi. Hanya saja, kau tahu.. Ada banyak peristiwa dalam hidup kita yang mana tak ingin kita bebankan pada orang-orang terkasih, kepada orangtua, kakak, atau adik. Sudah terlalu berat masing-masing porsi hidup kita. Maka seringkali kita berusaha menyimpannya seorang diri. Berdiri sendiri pada satu kaki, sampai lupa memakaikan satu buah sepatu lagi di kaki kita yang lain.
Hingga pada kondisi dimana akhirnya, sosoknya itu kau temukan.. kau seperti kembali belajar berbicara, berjalan, dan belajar meletakan hati dengan bijak. Bahwa tak segalanya hidup tentang diri sendiri. Kadang, kurasa kita perlu untuk menuntun, atau dituntun. Karena sekuat-kuatnya diri kita menampung, kita pasti butuh untuk mengeluarkan separuh rasanya sedikit demi sedikit, agar porsi kita pada diri ini tak kepenuhan, tak membuat jenuh pada akhirnya. Yah, sedang-sedang saja. Tapi tentu, berpasangan.. tak selamanya tentang kekasih, bisa saja tentang sahabat atau kerabat, yang selalu menemani sampai pagi buta, saat segala topik yang dibicarakan sudah menguap di udara.
Bagaikan sepasang sepatu yang kemana-mana selalu beriringan, dan selalu sejalan seirama. Jika salah satu bercecer atau hilang, maka fungsinya tak lagi sama. Bahkan, ia akan sama-sama kehilangan guna bagi si pemilik kaki.
Mengingat bahwa.. mungkin kita terlalu banyak berceloteh tentang masalah kita kepadanya, aku ingin agar kau sampaikan pada sosok ini. Berterima kasih lah. Terima kasih atas telinga, mata, hati, dan tangan yang dengan tulus diulurkan saat raga sedang tak baik-baik saja.
Terima kasih karena tanpa disadari, kau telah mengajarkan bagaimana untuk menjadi manusia seutuhnya. Manusia yang mengenal lelah, yang tak lepas dari salah, dan manusia.. yang selalu butuh dimanusiakan.