Akhirnya label podcast gue datang lagiii!!!
Beberapa hari yang lalu, gue dapat surel hangat dari kak Ady di sore hari. Isinya berupa apresiasi beliau tentang podcast gue yang sebetulnya udah gue lupa keberadaannya beberapa bulan ini😂. Tapi entah kenapa waktu komentar di salah satu post kak Ady, gue sempat teringat dengan podcast gue yang sudah lama vakum ini. Turns out dari situ pemikiran tentang siniar berlanjut (namun saat itu gue belum punya inspirasi mau tulis apa). Sekarang akhirnya gue mendapat sebuah ilham dari kak Ady yang secara nggak langsung menambah semangat gue untuk kembali memproduksi episode baru. *Thanks, kak Ady!😁
Kebetulan, seminggu ini cerita kehidupan gue lagi berwarna-warni. Maksudnya berwarna-warni itu kayak nano nano, alias asem manis asin kecut sepet, dsb. deh🤣 Salah satunya tentang emosi diri. Jadi, gue kepikiran untuk menuliskan ini. Daripada cuma nganggur di buku harian, kan. So, walaupun ini bisa dibilang bukan puisi yang biasa gue buat sebelumnya, semoga bisa menemani awal pekan teman-teman yang dingin ini yesss😉.
Ah iya, by the way, akhir-akhir ini Bandung udaranya lagi dingin terus. Gue sampe pake jaket tiap hari, dan bersin-bersin terus saking dinginnya. Kalau di daerah teman-teman gimana?
P.S: Jangan lupa langsung dengarkan episode-nya dengan klik di bawah ini, ya, teman-teman dan kakak-kakaku yang baik hati dan rajin menabung! Wk💕🎀 Entar takut kelupaan lagi karena gue udah kebanyakan cingcong duluan😆 Cheerio! Dan maafkan kualitas audio yang jelek ya😟 Gue masih harus nemu ritme yang bagus buat alat rekam yang enak soalnya.
o-o
Bahagiaku Bahagiamu
Seringkali pada waktu-waktu tertentu, kita terlalu menggantung harap pada seseorang. Mengira bahagia tak boleh dicapai sendiri. Lantas kecewa saat menyadari bahwa sejatinya kita memang selalu sendiri di ruang kosong.
Tanpa sadar selalu bergantung padanya, pada mereka, atau pada apapun yang membawa ketenangan. Bahkan saking nyamannya mereka merangkul kekosonganmu, kau sampai tak sadar bahwa ketika ia tak ada, kau merasa ada yang hilang.
Tak tahu bagaimana caranya tertawa seorang diri. Merasa tak berarti, tak hidup, tak ada kawan. Merana dalam keputusasaan. Ada kekuatan magis yang tak bisa dicerna untuk selalu menuntut eksistensinya.
Kau selalu ingin diperhatikan, ingin afeksi darinya. Menurutmu, bahagiamu adalah bahagianya. Sebab katanya, bahagiaku bahagiamu juga.
Kau lupa.
Bagaimana jika bahagiamu adalah mendengar detak jantung dan suara rendahnya yang tiada henti mengisi hari?
Bagaimana jika bahagiamu cukup menyaksikan senyum mereka yang manis dengan kedua matamu setiap harinya?
Bagaimana jika bahagiamu sesederhana ketika membicarakan tentang aspirasi, politisi, beradu persepsi, hingga serentet kalimat tak berisi bersamanya?
Apakah dia akan selalu sanggup mengisi bilah-bilah ringkih dalam tubuhmu?
Mungkin ya, mungkin saja tidak.
Karena kenyataannya, dia, mereka, tetap berdiri sendiri pada kakinya. Mengisi cangkir kehidupan miliknya, yang tak sekosong dan seringan dirimu.
Kini, kau telah bermain terlalu dalam dengan ekspektasi. Mengubur realita akan definisi bahagia. Kau juga lupa, bahagia tak mesti selalu datang dari raga lain. Sebab jika cinta sudah mengekang dan menawarkan ketakutan, kemana kita akan lari?
Kebahagiaan apalagi yang bisa ditemukan?
Bukankah dia sudah tak bisa diandalkan?
Menakutkan ya, bermain dengan harapan. Kau pikir bahagianya hanya bersumber darimu ketika dia bilang begitu? Dan kau lantas tak terima jika dia bisa menciptakan bahagianya sendiri?
Bukan begitu maksudnya.
Kalau seperti itu, kau telah menciptakan dunia yang tak adil untuk seseorang yang kau anggap sebagai satu-satunya bukti keadilan dari Tuhan. Sebab memberi butuh saling. Perlu kedua tangan untuk saling menopang. Kebahagiaan tak selalu untukmu dan tak selalu dari mereka.
Pada akhirnya kau harus tahu, bahwa kebahagiaan kau sendiri yang temukan. Dan saat kau sudah berhasil menciptakannya, maka kau akan mengerti, apa yang kau butuhkan, dan apa yang mereka butuhkan. Bahwa bahagiamu adalah bahagiaku juga.
Dan bahwa bahagiaku, adalah bahagia untukmu.