Lagi-lagi malam ini Tuhan menegur gue dengan cara-Nya, sekaligus mengingatkan gue bahwa kita nggak bisa mengubah seseorang kecuali semua atas ridho dan hidayah-Nya. Beberapa kali gue dihadapkan dengan hal ini—sesuatu yang nggak gue sukai yang ada pada diri orang lain, dan dalam beberapa waktu itu pula gue bertingkah seolah gue adalah mentor atau bahkan hakim yang bisa dengan lantang menghakimi bahwa yang dia lakukan itu salah, jelek, dosa, atau suatu keburukan. Sementara gue lupa, bahwa gue juga makhluk yang tidak sempurna, yang kadang kala melakukan kesalahan yang sama. Dan gue lupa, bahwa jalan hidup setiap orang, termasuk keburukan dan kebaikan yang dilakukan, bukan campur tangan gue dan bukan hak gue untuk masuk ke dalamnya sesuka hati, apalagi untuk bersikap seakan menjadi yang paling benar atas hidup mereka.
It's true that we can't expect people to be the way we want them to be, cuz it's not our job to change others. It's God's. The only thing we can do is trying our best to be a kind human being as He wants us to be, pray the best for them, and let Him do the rest.
Sebab mungkin, bisa aja sebetulnya gue adalah salah satu dari sekian penyebab buruk yang membuat hal negatif kemudian muncul dalam diri seseorang. Hanya saja seseorang itu nggak mengungkapkannya ke gue. Karena itu, gue harus sadar, yang perlu gue lakukan ialah mendo'akan yang terbaik untuk kebaikan bersama. Bahwa gue pingin menjadi manusia yang sebaik-baiknya, dan bahwa gue ingin melalui proses itu dengan orang-orang yang gue sayangi. Meski sempat beberapa kali gue berpikir bahwa gue berlebihan, lebay, "gak gahol", terlalu polos, atau terlalu kaku, tapi setelah dipikir-pikir gue justru berpikiran seperti ini karena sejujurnya gue sangat sayang dan peduli, dan menginginkan yang terbaik untuk orang-orang di sekitar gue. Gue nggak mau melepas sesuatu yang berharga, hanya karena sesuatu itu gue anggap memiliki satu ketidaksempurnaan. Sesakit apapun kenyataan itu, dan sesedih apapun. Namun karena sekarang gue sadar akan segala keterbatasan diri gue sebagai manusia yang juga banyak salah dan dosa, selain mendo'akan, yang bisa gue lakukan saat ini ya cukup memperbaiki diri gue sebaik-baiknya, memperbaiki hubungan gue dengan Yang Maha Kuasa, dan tentu dengan orang lain. Bukankah contoh terbaik atas perubahan dari diri kita adalah salah satu cara paling baik yang bisa kita lakukan? Instead of giving such a harsh comment, memaksa dengan kekerasan, etc.
Selama ini, tanpa sadar gue hanya mengenal sifat "ketidaksempurnaan" manusia sebagai teori, nggak pernah benar-benar diilhami, dipahami. Sampai ketika Tuhan menegur gue untuk yang kesekian kalinya, dengan cara yang selama ini gue anggap ceroboh dan bodoh, bahwa terkadang ketidaksempurnaan itu ada untuk kita terima, dan untuk kita do'akan. Bukan untuk kita judge. Supaya gue sadar, apakah gue bisa menerima ketidaksempurnaan itu atau tidak? Apakah gue harus selalu berujung menuntut kesempurnaan yang justru nggak akan berefek apa-apa kecuali kebohongan semata? Sebab artinya gue sudah memaksa orang lain untuk sama seperti apa yang gue inginkan. And now i realized that i have to accept it since it's not my job. Mungkin, apa yang terjadi kepada gue sekarang adalah sebuah cerminan akan segala noda dan ketidaksempurnaan yang ada pada diri gue.
Dengan ini, gue berharap semoga segala beban yang nggak seharusnya hinggap di hati gue bisa Ia angkat, dan gue harus berlapang dada sambil mendo'akan yang terbaik. Mendo'akan apa? Mendo'akan agar tangan-Nya sampai di hatinya, mendo'akan agar apa yang telah jauh dari-Nya bisa Dia tuntun kembali, dan bahwa gue ingin berjalan bersama menuju sesuatu yang baik yang selalu Dia lindungi langkahnya. Gue menginginkan sebuah pantulan yang ketika gue lihat di "cermin", pantulan itu adalah pantulan yang bisa menuntun gue untuk menjadi seseorang yang lebih baik setiap harinya.
Is it too much? Gue harap nggak. Semoga. Sebab gue percaya Tuhan Maha Baik atas segala niat baik yang kita miliki. Seperti yang Dia katakan, "Aku sesuai dengan persangkaanmu kepada-Ku".
And.. why do i name the title as "The Gift of Imperfection"?
No, it's not Brené Brown's book yang punya judul sama. Bagi gue, ketidaksempurnaan yang berkali-kali gue temukan dan baru gue sadari kali ini adalah sebuah hadiah yang Tuhan tunjukan agar gue bisa sabar, bisa menerima dan sekaligus hadiah yang menyadarkan gue akan sebuah cinta yang tulus. Iya, sebab alasan utama kenapa gue nggak bisa membiarkan sesuatu yang menurut gue nggak sejalan dengan prinsip gue ini adalah karena gue yakin dari hati terdalam gue ada niat yang tulus yang bukan sekadar memberi makan ego agar gue tampak terlihat paling benar, bukan. I do care so much, justru.
For the last, i'm sorry if you guys couldn't get what i'm talking about, since it is something personal that i've ever wrote. Tapi satu yang pasti, gue sedang belajar untuk menerima ketidaksempurnaan sebagai sesuatu yang betul-betul bisa gue terima, dan bisa selalu gue do'akan agar menemukan sisi baik dan hikmah pada akhirnya (tentu sempurna dalam kadar manusia). Sebab hidup itu proses. Meski apa yang gue risaukan tetap bukan menjadi sesuatu yang bisa dibenarkan, tapi at least gue harus percaya dengan proses itu. Dan kuncinya seperti yang gue bilang, membiarkan rencana Tuhan bekerja sebagaimana mestinya—bersama dengan do'a kita.
Insya Allah.