Seharian ini (Sabtu, 7 November) waktu gue lebih banyak digunakan untuk nontonin video-video Daniel Mananta di yucub, yang mewawancarai teman-teman artisnya untuk bercerita perihal spiritual journey mereka—yang entah kenapa salah satu cuplikan videonya bisa muncul di timeline gue.
Pada awalnya, gue pikir kehidupan para artis tuh enak, sekali kerja honornya bisa puluhan juta (ratusan malah), walaupun nggak menutup kemungkinan juga mereka tetap merasakan kesulitan dalam mengontrol keuangan—karena di balik income yang besar pasti ada outcome yang juga besar, apalagi kalau outcome-nya berhubungan dengan gaya hidup mevvah. Gue juga seringkali skeptis dengan mereka-mereka yang memanfaatkan hidupnya sebagai konten di platform digital manapun. Kasarnya, nih orang udah pada kaya apalagi sih yang dicari, jangan semua diembat napa😒 . Hanya karena gue merasa konten-konten ini nggak informatif dan cuma 'showing off' kekayaan mereka yang gak ada habisnya.
Long story short, setelah mendengar beberapa cerita soal life journey mereka, gue seperti kembali disadarkan bahwa setiap orang sesungguhnya punya ceritanya masing-masing, punya caranya masing-masing dalam menjalani hidup. Though kalau pada akhirnya mereka memang menjadikan separuh hidupnya sebagai konten—yang ujung-ujungnya menghasilkan uang, itu hak mereka (also privilege that give them such influence). Kita nggak pernah tau apa yang terjadi off camera, cause basicly we are fighting our own battles. Hanya karena gue nggak seberuntung mereka, bukan berarti gue bisa dengan mudah menghakimi, dan menilai mereka berdasarkan apa yang selama ini ditampilkan oleh media.
Artis-artis yang kita kenal di layar kaca selama ini memulai karirnya di sana, di dunia broadcasting tentu dengan perjuangan yang bermacam-macam. Start point mereka sebetulnya sama dengan kita, misalnya, yang memulai karir di bidang digital marketing, rumah makan, toko elektronik, bisnis tekstil, makanan semisal kue-kue lapis, bahkan sampai pakaian di online shop, etc. Bedanya, kalau mereka sukses, mereka bisa dikenal orang satu negara. Sementara kita, ya nggak akan ada yang mau tau dan peduli juga.
But that's my point, man. Even seorang artis yang selama ini kita lihat di televisi aja, ketika sudah memasuki ranah privasi, mereka masih punya cerita tersendiri yang nggak akan pernah kita ketahui kecuali diri mereka sendiri dan Tuhan. Mereka masih harus berjuang untuk hidup selayaknya manusia biasa, sama seperti kita, yang Dia beri ujian untuk bisa 'naik level' menjadi manusia seutuhnya. Hanya saja kadarnya pun pasti beda-beda.
Ini juga salah satu yang mempengaruhi proses pendewasaan gue akhir-akhir ini. Rasa iri dan ketakutan akan tidak bisa menyamai pencapaian orang lagi-lagi menjadi tembok penghalang yang cukup tinggi untuk gue bisa berjalan melewati rintangan yang ada. Seperti yang pernah gue mention di tulisan Berteman Dengan Kegagalan ini, bahwa gue terlalu fokus dengan apa yang orang lain bisa dan orang lain kerjakan, instead of berbenah diri dan evaluasi pekerjaan gue sendiri.
Akhirnya, gue jadi melupakan esensi hidup itu sendiri. Gue lupa bahwa each of us are a fighter in our lives. Kita melawan pergulatan, pertempuran yang sama yang hanya dialami masing-masing diri. Kenapa gue peduli amat sama 'permainan' orang lain? Padahal jelas-jelas gue punya arena bermain gue sendiri?
Sama kayak Atta Halilintar (yang dalam beberapa tahun terakhir konten prank-nya sering bikin gue sebal), dia juga punya perjalanan yang panjang dan berliku untuk bisa ada di jajaran Top YouTuber di Indonesia. Meski kontennya banyak yang 'apaan sih' buat gue, pada akhirnya dia tetap menemui penggemarnya. Videonya tetap ada yang nonton, tetap bisa menghasilkan duit. Kalau memang gue nggak suka dengan channel-nya, it's become my problem, artinya memang bukan gue target audiensnya. Toh nggak suka dengan kontennya bukan berarti gue nggak bisa respect dengan kreatornya. Karena lagi-lagi, he's fighting his own battle to stay productive in order to earn more money in this industry, and that's the reality. Kenyataannya memang masing-masing kategori (di platform apapun) punya sasaran dan punya penontonnya masing-masing, dan suka nggak suka ini juga yang terjadi di dunia pertelevisian Indonesia. Kita nggak bisa mengelak bahwa nggak semua orang punya idealisme yang tinggi untuk bisa menghasilkan sesuatu, apalagi kalau tujuannya semata-mata untuk kebaikan bersama. Jangan berharap tinggi, deh. Toh semua orang sedang berjuang dengan urusannya masing-masing kok, demi keuntungan masing-masing juga.
Karena ini gue jadi lebih belajar untuk jangan terlalu memusingkan apa yang terjadi di sekitar kita, apalagi yang memang sifatnya berkaitan dengan individu, privasi—apapun itu, seperti apa yang orang lain sedang kerjakan dan pencapaian apa yang mereka punya. Mau itu teman gue kek, tetangga gue kek, bahkan artis yang gue lihat di TV. Karena kita nggak bisa memaksa orang lain untuk sama hidup dan jalan pikirannya dengan kita.
Kadang gue suka berpikir, kenapa ya orang-orang zaman sekarang seneng banget ngeributin privilege orang lain dan menganggap bahwa perbedaan starting point itu sebagai masalah buat mereka?
Gue tau, kita memang nggak bisa deny bahwa ada orang-orang yang dari lahir udah kaya dan pasti kaya kalau mereka hanya berusaha sedikit lebih keras—since kesuksesan seringkali diukur dengan kekayaan. Kita pun nggak bisa mengelak bahwa realitas sosial yang hadir di tengah-tengah kita terkait si kaya dan si miskin, kemiskinan struktural dan kultural, serta privilege yang nggak dimiliki semua orang ini bisa jadi masalah yang sangat berarti untuk bisa memotivasi setiap individu bergerak di jalurnya. Itulah kenapa konsep-konsep tentang tatanan kehidupan sosial semacam inipun ada ilmunya. Tapi kita juga nggak bisa selamanya terjebak dalam pola pikir seperti itu. Apalagi sampe jadi pembahasan terus.
Malu nggak sih membayangkan, mereka yang 'punya privilege' tadi sedang bekerja keras memajukan usahanya, menelurkan pundi-pundi uang, sementara kita yang nggak ber-privilege ini cuma sibuk mengeluh karena nggak punya privilege yang sama? Ya gimana kita bisa nyusul mereka kalau gitu? Jadi, siapa yang menghambat kesuksesan diri kita sebetulnya? Privilege orang lain, atau rasa malas dalam diri?
Berada di garis start yang berbeda nggak membuat kita berakhir di garis finish yang berbeda pula. Kita semua akan berakhir sama, mati, di tanah yang sama. Nggak peduli apakah kuburannya mewah atau cuma ditandai dengan nisan kayu. Kita mati di dalam kubur nggak punya apa-apa, dan nggak akan bawa apa-apa selain amal ibadah dan perbuatan.
RANS Entertainment bisa punya pesawat pribadi dan boyong keluarga sama sahabat-sahabatnya liburan kesana sini, karena memang itu adalah hasil jerih payahnya, rezekinya. Raffi Ahmad bisa muncul di semua stasiun TV sekarang ini juga berkat kerja kerasnya yang udah wara wiri di dunia entertainment dari usia yang sangat muda, even lebih muda dari usia gue sekarang. Agnezmo, bisa jadi penyanyi internasional sekarang karena ada banyak sekali peluh keringat yang dia keluarin untuk meraih impiannya dari sejak kecil. Terus Jessica Tanoe, yang kemarin sempet dinyinyirin karena mengisi seminar motivasi sukses di usia muda, kenyataannya memang dia sukses di usia muda—berkat privilege tadi, ya mau gimana lagi? Kita juga nggak bisa menyalahkan privilege yang mereka punya. Kalau lo masih juga mencari-cari alasan bahwa Agnezmo pun udah kaya dari kecil (misalnya), hidup mereka tetap milik mereka. Kenapa sih bahasan privilege menjadi sepenting itu dan seolah bisa dijadikan senjata atas kemalasan yang mengakar dalam diri?
"Lho emang iya kok, dia bisa maju juga berkat orangtuanya, warisannya. Privilege does work, men!"
No, privilege doesn't always work for every privileged human being, dude. Ada usaha ya ada hasil. Rumusnya tetap begitu. Gue rasa teman-teman juga pernah denger setidaknya sekali seumur hidup, bahwa ada pula anak-anak ber-privilege di luar sana yang harus berjuang untuk keluar dari stigma atau embel-embel yang melekat dalam dirinya karena sering dianggap sukses berkat tangan-tangan orangtuanya yang sudah 'kaya'. In the end, mereka juga ingin kesuksesannya dilihat sebagai hasil keringatnya, jerih payahnya, bukan semata-mata hasil bantuan orangtuanya yang terpandang. Mungkin aja, kan, itu juga yang dirasakan Jessica Tanoe sebagai anak dari salah satu orang terkaya di Indonesia. Mungkin.
Walaupun sebetulnya gue setuju bahwa acara seminar motivasi harus bisa merepresentasikan realita yang sebenarnya, tapi soal hidup orang lain alangkah baiknya nggak usah kita komentari dan kita campuri. Toh setiap di antara kita udah punya takdir masing-masing. Tinggal kerja keras, dan percayakan sisanya sama kekuatan Yang Maha. Kalau nggak dapet bahagia di dunia, masih ada kehidupan yang lebih kekal nanti, kok. Inget aja itu.
Gue jadi mikir lagi, terkadang ya, yang menjadikan hidup ini seperti perlombaan itu justru manusianya sendiri. Apa-apa membandingkan diri dengan orang lain. Apa-apa merasa harus disandingkan dengan orang lain. Mau sengsara atau bahagia, rasanya kita harus look up ke orang lain. Padahal, berlomba dengan diri sendiri sudah lebih dari berat, seperti melawan segala hawa negatif dalam diri untuk berperilaku dengan baik selayaknya manusia. Masa mau capek-capekin diri sendiri membuat arena baru dengan orang lain yang bahkan gak punya waktu untuk membandingkan hidupnya dengan kita?
Sama, gue bukan dari keluarga yang biasa orang-orang anggap ber-privilege, kok. Nih dompet juga banyak kosongnya daripada penuhnya. Gue pun kadang suka sedih, "kenapa yak hidup gue gini-gini amat?". Tapi serius, deh, nggak akan ada habisnya kalau kita selalu memperhitungkan hak-hak istimewa mana yang nggak kita miliki.
See, melihat segala sesuatu dengan lebih jelas dan terbuka betul-betul bisa bikin kita lebih tenang dan legowo dalam menjalani kehidupan. Sebab sejatinya kita memang hanya perlu sibuk dengan diri sendiri, berkaca pada diri sendiri, memperbaiki diri, mengevaluasi diri, kerja keras dengan diri sendiri, supaya bisa jadi versi terbaik dalam hidup kita pribadi. Remember these words; life is an ocean of experiences, some are good, some are bad. But the one surviving those experiences is the real hero, the real fighter!
Jadi, jangan membandingkan diri sendiri dengan orang lain sampe ke tetek bengeknya (yang mana berlaku untuk diri gue). Jangan pula menyepelekan hidup orang lain seenaknya, seolah-olah hanya diri sendiri yang menderita. Sebab kita semua lah pejuang yang sebenarnya atas hidup kita.