A note for little sister |
Catatan ini akan menjadi salah satu catatan dari sekian lembar perjalanan saya—yang selama ini hanya tertulis di jurnal pribadi—yang kali ini ingin saya tulis disini. Sebagai pengingat, sebagai kenangan, sebagai pelajaran, bahwa sebagai manusia, banyak petualangan-petualangan yang tentunya telah dan harus saya lalui, dan tak jarang meninggalkan rasa sedih yang teramat hebat, terutama pada titik-titik terberat. Karena itu, saya ingin meletakan kata "gue" dulu untuk saat ini.
Lihatlah lebih dekat, salah satu original soundtrack Petualangan Sherina ini selalu melekat di memori saya sejak kecil dulu—tentunya selain lagu dia memang jago *lupa judul*. Dulu, saya hanya tahu bahwa lagu ini sangat bagus, tapi tidak sedikitpun memahami apa makna dari liriknya secara utuh. Sekarang, semuanya berbeda. Setiap kali meresapi lagu ini, saya selalu menangis, bahkan jika itu suara saya sendiri.
Baca juga: A Letter to My 19-Year-Old Self
o-o
Ada kalanya pada hari-hari tertentu, ketika raga dilanda putus asa, kita kehilangan arah dan tujuan. Kehilangan jati diri, kehilangan semangat, kehilangan kasih sayang dari orang-orang terdekat, meski sesungguhnya rasa dan seuntai do'a itu selalu disana, tak pernah hilang.
Ada kalanya saya ragu pada diri sendiri, yang tak pernah habis dicari lemahnya. Pada alam yang menyajikan segala kemurahannya. Pada mereka, yang justru kebajikannya khawatir tak bisa saya balas. Pada Tuhan, yang selalu menunjukan kekuasaan dan berbagai pelajaran dengan cara-Nya.
Ada kalanya saya mampu tahan kendali, hingga terjerembab di jurang yang sama berkali-kali. Sebab untuk melepas risaunya tak semudah itu. Banyak kesia-siaan yang meminta untuk didengar, meminta untuk diperhatikan. Tanpa aba, tanpa iba. Ada juga kalanya saya mampu lepas kendali, tapi rasa takut akan datang kembali. Bahkan jika tuan gelap belum tampak batang hidungnya sekalipun.
Ada kalanya saya bahkan lupa, bahwa banyak hari-hari yang telah dilalui tanpa intensi pasti. Matahari jadi bulan, bulan tak jadi apa-apa melainkan selapang pekat malam. Tak ada tujuan, tak ada yang bisa diungkapkan. Yang saya tahu, saya hanya harus berjuang. Namun entah apa yang harus diperjuangkan?
Ada kalanya saya malu untuk bertukar cerita, dan menanyakan kabar mereka yang menunggu kabar. Sebab kecewa yang belum pasti terjadi selalu menunggu menatap saya di ujung telepon, seolah berkata, "kau bisa apa?", "apa yang bisa kau bagi?"
Berhari-hari lamanya saya jalani detik demi detik waktu tanpa makna, yang tanpa sadar berlalu tanpa arah, tanpa kemudi, tanpa peta, tanpa tujuan—pantaslah jika dermaga pun sulit saya temukan. Saya hanya tahu rasanya sedih, rasanya sepi, rasanya berpura-pura menikmati hari, berpura-pura menyimpan segudang cita. Padahal, mimpi dan tujuannya sudah tak disini. Bukan, bukan mereka yang pergi. Namun saya yang kini telah pergi terlampau jauh hingga terlempar disana. Jauh sekali, dan lama meninggalkan keduanya.
Baru-baru ini saya sadar, saya perlu mencari mereka. Mengembalikan mereka pada bilah ingatan dan semangat yang paling dalam, lalu meletakannya dekat dengan pikiran saya. Agar saya tahu kemana kaki saya menapak, dan pada apa tangan saya sibuk.
Saya pikir, ada kalanya saya harus meninggalkan si adik kecil yang telah jauh membawa saya melanglang buana setahun kebelakang ini, untuk menemukan sosok kakak yang hilang raganya entah kemana. Namun, sepertinya rencana saya salah. Saya butuh dia untuk menemani pencarian saya. Sebab tidak seharusnya saya membuang sebagian diri saya yang telah ada, hanya untuk kembali bersiap kehilangan. Saya hanya perlu menyempurnakannya, menutup buku diri dengan sampul belakang yang sudah kembali.
Kini, untuk yang juga sedang kehilangan harapan, tak apa jika kita berjalan tanpa alas kaki. Pada akhirnya, saat kita sadar, kita bisa menemukan apa saja yang mampu menutupi kaki kita, menjaganya tetap nyaman untuk kembali meniti jalan, trotoar atau gang-gang sempit. Jika sudah terlampau nyeri dan berdarah-darah, selalu ada cara untuk mengobati. Pasti.
Pada akhirnya, akan ada pasti.
Dan pada akhirnya, yang akan membawa diri kita hanyalah apa yang tertanam dalam diri kita sendiri. Untuk merasakan itu, kita hanya perlu melihat segala sesuatu dengan lebih jeli dan lebih dekat. Lebih bijak dan lebih dalam. Tenang, tak ada lebih yang berlebihan untuk ini. Sebab memahami diri seringkali kita memang perlu usaha yang lebih, dan untuk mempertahankan ke(sudah)adaan itupun perlu jerih payah yang tak sekadar.
Ingatkan diri, bahwa untuk meraih langkah yang jauh pun, semuanya berawal dari langkah yang kecil dan dekat sekali. Sangat dekat.
Jika mencapai langkah jauh yang tanpa tujuan pun bermula dengan langkah kecil, bagaimana dengan hidup kita yang "pasti" adanya? Jika bisa jauh, kenapa kita tak bisa dekat? Atau, jika tak bisa jauh, kenapa tak sekali mendekat? Coba, sekarang ganti kata jauh yang biasa kita kenal "sudah sejauh mana..." dengan dekat.
"Sudah sedekat apa kita mengenal Tuhan dan segala penciptaannya? Sudah sedekat apa kita menjalani tuntunan dari apa yang telah diwajibkan kepada kita? Mencaritahu tentang utusan-utusan-Nya? Sudah sedekat apa kita merangkul mereka yang tak pernah bosan mengirim do'a untuk keberkahan kita? Menunjukan kasih sayang dan kemurahan hatinya dengan tulus? Lalu, sudah sedekat apa kita melihat diri sendiri? Menilai segala nilai diri hingga isinya? Membisikan ucapan-ucapan semangat, maaf, dan terima kasih atas segala kata meremehkan dan segala usaha yang ditujukan untuk diri sendiri? Sudah sedekat apa?
Sudah sedekat apa raga kita dengan jiwa ini?"