Sebelumnya, saya ingin berterimakasih kepada
kak Eno yang sudah buat konten Paid Guest Post di situs blognya sehingga saya punya kesempatan untuk menuliskan pemikiran ini, yang sudah
lama sekali ingin dibagikan namun terkendala writer's block. Meski ada sedikit perubahan atau penambahan dari tulisan aslinya di beberapa bagian setelah melalui proses perenungan (re-read), akhirnya bisa tertuang juga disini.😁🎊
Ini mungkin salah satu cerita paling personal yang gue tulis lagi setelah
sekian lama, semoga suka dan bisa menginspirasi teman-teman dan kakak
sekalian untuk mau terus sama-sama belajar dari orang lain, dari mereka, orang-orang hebat di luar sana yg tanpa sadar
sosoknya selalu dekat dengan kita.😇
Sembari menikmati waktu santai, gue cantumin playlist dari album Mantra
Mantra milik Kunto Aji di bawah ini. Selamat membaca dan
mendengarkan!💕
o-o
Sebagai manusia, sifat ingin menjadi nomor satu sepertinya selalu melekat di
dalam diri, secara sadar atau nggak. Bukan hanya persoalan misoginis atau
misandris yang menjadikan orang lain atau gender lain inferior karena pingin
terlihat berbeda, but it also happens to certain circles, bahkan ruang
lingkup keluarga. Sebagai seorang anak, pernah gak sih lo merasa lebih kuat
dari yang lain? Atau merasa dibedakan dan dianggap lemah daripada saudara
yang lain?
Beberapa waktu lalu gue nemu sebuah postingan di twitter tentang stigma anak
perempuan pertama.
Dari reply-an itu banyak yang merasa jadi anak pertama itu sebuah beban. Berat, harus selalu jadi contoh yang baik, harus terlihat kuat, tegar, mandiri, jadi tulang punggung keluarga, tanggungjawab pun lebih besar, segala masalah dan kesedihan harus ditelan sendiri—sebab nggak ingin rasa
sedihnya dibagi, lalu jadi pengharapan keluarga, terlebih saat dia juga
menjadi cucu pertama yang lahir. Saat ada masalah dia yang harus merangkul,
saat ditimpa segala macam rasa nggak menyenangkan pun dia yang pertama kena
getahnya, nggak jarang dia juga harus mendengarkan dari berbagai sisi saat
dirinya sendiri selalu memendam semua masalah.
Gue paham, semua itu bukan cuma stigma dan isapan jempol. Sebagai anak
sulung, i know exactly how it feels. Apalagi tumbuh sebagai anak "broken
home" sejak di tingkat akhir bangku sekolah dasar, banyak perasaan yang gue
nggak ngerti apakah itu kesedihan atau bukan, sehingga akhirnya dipendam
sendiri. Sebagai anak sulung, gue juga merasa harus selalu kuat, gue harus
tampak berwibawa untuk menerima segala problema yang ada—yang tanpa sadar
membuat gue memendam luka cukup lama. Dulu, waktu pertama kali harus tumbuh
di tengah-tengah orangtua yang "divorced", gue nggak merasakan sedih sama
sekali. Kecewa mungkin ada, tapi ayah gue yang selalu menasihati gue untuk
jangan menangisi perceraian ayah dan ibu karena itu masalah mereka, sehingga
gue pun mengerti untuk tetap menjalani hidup seperti biasanya, dan bahwa gue
nggak boleh sedih. Toh gue harus bisa merangkul adik-adik gue yang masih
kecil, yang bahkan nggak tahu kenapa mamanya nggak lagi tidur bareng
mereka—which was so painful. Mungkin karena hal itu, gue pun sempat tumbuh
menjadi seseorang yang beku hatinya. Ngeliat orang lain terluka sedikit, gue
cibir. Ngeliat orang lain nangis hanya karena masalah pacar, nggak gue
hirauin. Gue selalu merasa apa yang gue alami lebih menyedihkan daripada itu
semua dan gue merasa gue berhasil buat melewati itu—yang sebetulnya nggak
sama sekali, sebab gue hanya terbiasa memendam kesedihan dan denial dengan
perasaan gue.
Sebagai anak sulung dan tinggal dalam keluarga sederhana, gue pun
berkeinginan untuk memberikan keluarga gue lebih dari apa yang mereka miliki
saat ini, dan mungkin apa yang sempat mereka miliki dulu. Karenanya gue
menjadikan diri ini sebuah beban, meski keluarga sendiri pun sebetulnya gak
berharap gue memandang mereka dan diri gue sendiri sebagai beban, but it
does. Entah kenapa rasanya udah otomatis aja tertanam dalam pikiran gue,
mereka—si anak sulung—untuk menanggung beban yang tidak seharusnya mereka
pikul dan nggak seharusnya dianggap beban. Semua itu kemudian membentuk
mental dan pola pikir bahwa anak pertama itu hebat, powerful, gak
tertandingi dan kuat, baik anak laki-laki maupun perempuan. Gue pun awalnya
berpikiran seperti itu, apalagi melihat sosok ayah dan ibu yang sama-sama
memiliki figur sebagai anak sulung di dalam keluarganya masing-masing.
Sampai pada suatu masa dimana gue mendengar curhatan beberapa teman gue yang
tumbuh bukan sebagai anak sulung, yang membuat gue mencoba membuka mata
lebih lebar soal peran masing-masing anak dalam keluarga.
Gue pernah beberapa kali mendengar curhatan teman gue yang hidup sebagai
anak tengah, atau pangais bungsu. Menjadi anak tengah, yang sebelumnya gue
pikir gak banyak menanggung beban pun sama, mereka ternyata menanggung
beban, perasaan dan tekanan masing-masing. Seringkali mereka harus tumbuh
dibayang-bayangi oleh kakak mereka yang sukses, atau kalau nggak, mereka pun
jadi pengharapan ayah dan ibu jika anak pertamanya dianggap
mengecewakan—layaknya memiliki anak adalah sebuah catur yang dipaksa
berjalan dan menang. Sering juga mereka kehilangan perhatian dan kasih
sayang secara utuh, karena semuanya sudah dikerahkan untuk si sulung saat ia
belum lahir, dan lagi-lagi semuanya harus dikerahkan untuk si bungsu yang
akan atau sudah lahir. Berada di tengah-tengah sosok kakak dan adik
seringkali membuat mereka terombang-ambing untuk bagaimana seharusnya
bersikap sebagai adik yang baik dan juga sebagai kakak yang harus turut berperan menjadi contoh yang baik. At the same time, mereka harus terlihat seperti anak
yang biasa-biasa saja, dan tampak bahagia karena punya kakak dan adik yang
bisa dirangkul dan bisa merangkul dirinya. Kenyataannya, hidup nggak serta
merta selalu seindah itu. Dia juga harus merangkul dirinya sendiri,
menyadari bahwa masing-masing kakak dan adiknya tengah berjuang dengan
kehidupannya.
Gue pun berusaha melihat lebih jauh ke dalam sosok adik-adik gue. Saat
melihat adik-adik gue, selama ini yang ada di kepala gue adalah rasa sedih
mengetahui masa kecil mereka yang tidak selengkap gue. Gue hanya
menyayangkan tentang mereka yang harus tumbuh dalam keluarga broken home
bahkan sedari balita, tapi gue nggak sadar bahwa mereka juga punya peran
masing-masing. Sebagai kakak, gue tahu betapa seringnya adik gue
dibanding-bandingkan untuk paling nggak sama dengan gue. Mungkin secara
tidak langsung hanya gurauan singkat, but who knows what's inside his heart?
Pasti pernah beberapa kali ada perasaan bosan dan lelah
dibanding-bandingkan, diminta untuk berlaku sama dengan kakaknya. Sering
juga gue menyaksikan adik pertama gue ini—technically anak kedua, diminta
untuk memberikan contoh yang baik kepada adik bungsunya yang usianya tidak
terpaut jauh. Itu artinya, segala tugas dan tanggungjawab dalam tali
persaudaraan gak mesti selalu ada di tangan anak pertama seperti gue. Even
as the older one, he also has the responsibility to take care his brother.
Apalagi saat gue sendiri sedang jauh dari rumah, posisi anak pertama akan
dilimpahkan ke anak kedua untuk memberi contoh bagi adiknya.
Soal banding-membandingkan pun kerap berlaku pada si bungsu. Tumbuh dan
berkembang di antara kakak-kakak yang terbilang lumayan bagus secara
akademik pun terkadang menjadi tekanan bagi mereka yang terlahir paling
akhir—dalam hal ini adik gue, untuk paling tidak dituntut bisa menyamai
posisi kakak-kakaknya. Terlebih sebagai anak yang sedikit berbeda, dianggap
lebih lambat (biasanya orang lain juga sering mengaitkan kepintaran dengan
posisi anak dalam keluarga nih) dan cenderung tempramental, gue tahu, berat
pastinya menjadi dia karena harus dibandingkan seperti kakak-kakaknya,
padahal bukan salahnya kalau dia tumbuh menjadi seseorang yang berbeda dari
kami. Contohnya dalam hal mengaji, adik gue yang bontot ini terbilang lebih
lamban dalam belajar soal tajwid dibanding kami, yang mana semua itu terjadi
bukan tanpa alasan. Ini juga yang kadang bikin gue sedih, adik gue ini
tumbuh saat orang-orang di sekitarnya sudah mulai sibuk dengan kegiatan
masing-masing, sehingga gak ada lagi waktu untuk mengajarinya mengaji. Gue,
yang saat itu sudah kuliah di luar kota harus berhenti mengajarinya dan
melimpahkan tugas gue kepada adik gue yang pertama. Tapi karena usia mereka
memang cuma terpaut dua tahun, otomatis banyak berantemnya daripada akurnya,
alhasil si bungsu lebih milih belajar sendiri daripada diajarin kakaknya
yang kedua. Stigma soal anak bungsu selalu dapat perhatian penuh dan
dituruti orangtua pun nggak gue temukan di dalam sosok adik gue. Tentu, gue
nggak menyudutkan orangtua gue, gue percaya ini yang namanya bagian dari
takdir, dan gue tahu orangtua gue juga mengalami masa-masa yang sulit, tapi
begini realitanya. Gak semua anak bungsu bahagia dan dimanja. Gak semua anak
bungsu dekat sama mama atau papanya.
Inipun berlaku untuk tante gue, sosok anak bungsu yang juga bikin gue bisa
belajar tentang hidup dan melihat dunia lebih luas lagi. Dia anak bungsu dan
perempuan satu-satunya dari tiga bersaudara (sama seperti gue), dan mungkin
memang terkesan lebih dimanja dan diatur (terbukti doi dulu jarang banget
nyuci pakaian dan nyetrika😂), tapi fakta itu gak bisa dijadikan alasan
bahwa hidupnya sebagai anak bungsu selalu enak, karena kenyataannya nggak.
Dia tetap jadi pengharapan keluarga dan tulang punggung karena ayah kami,
yang mana adalah anak pertama, tidak bisa sepenuhnya membiayai kebutuhan
keluarga karena harus memikirkan soal anak-anaknya dan kebutuhan lain. Being
one of those called the sandwich generation, she has also been through a
hard life when it comes to man, gue nggak bisa menceritakan ini lebih dalam
since it's too private, tapi dari situ gue mendapatkan banyak sekali
tambahan pelajaran soal pernikahan. Bayangin, dari anak bungsu yang selama
ini dianggap orang manja dan gak bisa apa-apa, justru gue bisa mendapat
pelajaran dan nilai-nilai kehidupan dari lika liku yang dia alami. Gue juga
menjadi salah satu saksi hidupnya, saat tante gue dari SMP sudah bekerja
mencari tambahan uang jajan untuk sekolahnya. Dia pernah bekerja menjadi
penjaga toko, dia juga sempat beberapa kali berjualan nasi ketan keliling
komplek perumahan setiap pagi sebelum berangkat sekolah, bahkan saat dia
sudah lulus dan bekerja pun masih sempat-sempatnya memikirkan kami,
keponakan-keponakannya dengan membelikan pakaian baru, memberi uang jajan,
membelikan ini itu, membawakan makanan dan berbagai camilan, sampai mengajak
jalan-jalan kemanapun. I learned a lot from her that being the younger one
doesn't always have a happy little tale.
Stigma yang berlaku di lingkungan sekitar pun seringkali menayangkan sisi yang enaknya saja dari menjadi seorang anak bungsu dengan segala fasilitas yang terpenuhi. Padahal kata siapa anak bungsu nggak punya beban dan hidupnya enak terus? Mereka pikir mudah dibayang-bayangi antara kesuksesan atau bahkan kegagalan kakak-kakaknya? Mereka pikir mudah hidup dengan kasih sayang berlebihan yang terkadang mengekang dan membatasi ruang gerak? Nggak. Gak ada yang mudah, karena masing-masing punya beban psikis atau fisik yang harus ditanggung, sadar atau ngga.
Keegoisan gue sebelumnya menjadi anak perempuan pertama yang terkesan sangat
berat pun mulai terkikis perlahan-lahan. Bahwa hidup setiap anak, apapun
peranannya memiliki tanggungjawab dan beban yang dipikul masing-masing, yang
bagaimanapun gak bisa disamakan. Peranan ini pun bahkan gak cuma berlaku
untuk anak-anak yang punya saudara. Gue sering pula mendengar stigma bahwa
anak tunggal cenderung hidupnya enak, serba difasilitasi dan dimanja karena
dia jadi satu-satunya harapan keluarga. Emang mereka pikir enak jadi
satu-satunya harapan keluarga? Nggak, beban pasti lebih besar. Ditambah
harus hidup dalam kesendirian dan kesepian mendambakan sosok kakak dan adik
yang dimiliki orang lain.
Gue bilang seperti ini bukan tanpa alasan. Gue pun punya sahabat, dia anak
tunggal, ayahnya nggak merawat dia sejak kecil, dan bahkan keluarga ayahnya
gak mengakui keberadaannya. Kenyataan paling menyakitkan yang juga
gue saksikan sebagai teman kecilnya adalah dia harus tinggal sendiri alias
tanpa sosok ayah dan ibu sejak kelas 5 SD karena ibunya meninggal saat itu.
Dia dirawat oleh keluarganya, yang kata orang lain sih serba enak, serba ada
karena keluarganya borjuis, but man.. it's not all about money. Gue tahu
betapa kosong dan hampanya menjadi anak tunggal yang digadang-gadang oleh
orang lain serba enak dan serba dimanja. Gue tahu cerita hidupnya, gimana
dia menghadapi berbagai cemoohan atau kalimat nggak mengenakan yang datang
dari orang-orang sekitarnya, dan harus menanggung semuanya sendiri karena
nggak ingin membagikan rasa sedih ke saudara yang lain, atau mungkin karena
gak ada seseorang yang bisa dia jadikan tumpuan. She was being lonely and
carries the sadness all alone. Tinggal di keluarga yang berkecukupan gak
serta merta membuat hidupnya berkecukupan, dia tetap bekerja menghidupi
dirinya sendiri. Meski begitu, gue sangat bersyukur karena dia masih punya
paman, tante dan ponakan yang setidaknya membuat hidupnya terasa lebih
penuh, dan tambah bersyukur karena dia sekarang punya sosok lelaki yang
memberi warna baru dalam hidupnya.
Lesson learned. Menjadi anak tunggal pun gak seindah itu. Bahkan gue percaya
masih banyak anak tunggal lain di luar sana yang punya bebannya
masing-masing, yang memendam perasaannya masing-masing, yang hidupnya gak
selalu bahagia tanpa air mata. Gue namai sosok ini sebagai Langit, karena
perannya gak disebut dalam keluarga Narendra. Oh iya, siapa keluarga
Narendra?
Keluarga Narendra ini ada kaitannya dengan judul yang gue sematkan di atas.
Mungkin ini juga yang menjadi pertanyaan teman-teman sekalian kenapa judul
tulisan ini harus berbau astronomi. Well, seperti yang sudah gue ceritakan
di atas, semua ini tentang sudut pandang gue terhadap stigma mengenai posisi masing-masing anak dalam keluarga.
Narendra adalah kepala keluarga atau ayah dari Angkasa, Aurora, dan Awan.
Mereka ini adalah tiga bersaudara dalam film Nanti Kita Cerita Tentang Hari
Ini, salah satu film bertema keluarga yang tayang pada awal Januari lalu.
Meski secara pribadi gue nggak terlalu relate sama isi cerita film ini
karena menggambarkan kehidupan keluarga di kelas menengah atas dan
memperlihatkan keluarga yang utuh, gue tetap mengapresiasi keseluruhan
cerita yang secara garis besar dapat menggambarkan intrik yang selama
ini terjadi dalam sebuah keluarga. Ditambah dengan fokus utamanya yang
memang tidak lepas dari penggambaran karakter masing-masing, dimana Angkasa
adalah anak pertama, Aurora adalah anak kedua, dan Awan sebagai anak bungsu.
Tadinya gue ingin menamai tulisan ini sebagai;
Di Balik Keluarga Narendra, tetapi karena semua tulisan ini adalah
tentang sudut pandang gue, si anak sulung yang berusaha untuk melihat lebih
luas tentang sosok Aurora, Awan, dan Langit, maka gue ubah menjadi Di Balik
Angkasa.
Sumber gambar: Swara Tunaiku |
Karena semua ini adalah tentang sudut pandang gue, maka apa yang tertulis mungkin tak lebih baik dari kenyataannya. Bisa saja benar, atau bahkan bisa saja salah. Namun gue pribadi murni hanya ingin berbagi tentang apa yang gue dapat selama ini dari proses belajar dalam memahami dan mendengarkan cerita-cerita mereka sebagai sesama anak sulung, lalu mendengarkan cerita si anak tengah, bungsu, bahkan tunggal, orang-orang terpenting dalam hidup gue yang pastilah punya sisi berbeda dalam perjalanan hidupnya. Toh bukankah kenyataannya stigma yang selama ini hidup dalam lingkungan kita memang selalu terkesan mengungguli salah satu dan membanding-bandingkan satu dengan yang lainnya?
Oleh karena itu juga, gue ingin menjelaskan bahwa sepanjang tulisan ini
dibuat, gue sama sekali gak bermaksud menyudutkan para orangtua—atau
orangtua gue sendiri. Gue sama sekali nggak menyalahkan mereka atas berbagai
problema yang gue dan adik-adik sendiri alami. Gue tahu, mereka hanya
sesosok manusia yang tidak sempurna, punya salah dan kekhilafan, mereka juga
gak selamanya bisa memahami perasaan dari masing-masing anak mereka, dan gue
yakin pasti seburuk apapun mereka berkeinginan agar anaknya menjadi versi
terbaik dari dirinya.
Berangkat dari pembelajaran-pembelajaran itu, gue yang tadinya menutup mata
dan selalu merasa menjadi yang paling kuat dan tegar di antara tiga
bersaudara pun perlahan bisa membuka mata selebar-lebarnya. Gue berusaha
untuk mengerti, bahwa bahkan gak hanya seorang anak dalam sebuah keluarga
saja yang boleh sedih dan merasa terpuruk, tetapi kita, sebagai manusia,
pada dasarnya semua merasakan sakit dan punya masalahnya masing-masing.
Nggak perlu merasa tinggi hati dan merasakan bahwa sakit itu hanya kita yang
punya seorang diri—mungkin sebetulnya sah-sah saja, but let me tell you,
terus beranggapan bahwa hanya diri sendiri yang merasakan sakit hanya akan
membuat diri kita selamanya tinggal dalam rasa sakit itu sendiri. Sesekali
kita perlu menengok, melihat, mendengar dan mengamati kehidupan di luar
sana. Karena semua orang sudah ada porsinya, bahkan untuk merasa sedih dan
bahagia. Gak ada anak pertama yang lebih kuat, gak ada anak bungsu yang lebih dimanja, gak ada anak tengah yang hidupnya penuh kasih sayang, gak ada anak tunggal yang bebas dari tanggungjawab karena serba difasilitasi. Kita semua kuat, tangguh dengan caranya masing-masing. Sebab semua manusia sudah punya bagiannya, untuk menikmati hidup yang
sebenar-benarnya. Tidak ada yang lebih dan kurang.
Mungkin menjadi anak pertama memang berat, selalu ada beban yang besar menanti di barisan paling utama. Namun, kita lupa bahwa berada di barisan tengah dan terakhir pun punya beban yang harus ditanggung yang tak kalah beratnya. Apalagi menjadi satu-satunya orang yang berdiri di barisan tersebut, kebayang kan hampa dan takutnya bagaimana? Hanya saja, kita terlalu asik untuk bisa menengok ke belakang dan ke samping. Bahwa ternyata anak tunggal, tengah dan bungsu pun punya ceritanya masing-masing.
Untuk Angkasa-Angkasa lain di luar sana, Aurora, Awan, dan Langit, this is
about us. I know it's been always tough for you. Apa yang dibilang orang lain tentang kalian, segala komentar atas
perbandingan, gak selamanya benar dan harus diterima. Setiap anak punya cerita dan peranannya masing-masing. Gak ada yang lebih inferior dan
superior. Pun rasa sedih yang selama ini tidak bisa dibagi, bukan
tanggungjawab orang lain untuk menilai siapa yang patut disandingkan dan
dianggap pemenang, karena sejatinya hidup ini adalah tentang memaknai dan
memahami, bukan persaingan untuk menjadi yang paling berat hidupnya. Kenapa
pula menjadi yang paling sengsara pun harus dinilai sebagai persaingan?