You know, it's a nightmare, actually.
Beberapa bulan lalu, gue baru aja start untuk kembali menata kehidupan yang semakin gak jelas dan gak terarah. Gue mulai bisa menerima semua yang terjadi dalam hidup gue berangsur-angsur, seperti ngejalanin praktik lapangan (PPL) dengan senang hati, dengan legowo, dan mulai semangat ngerjain skripsi yang tertunda lebih dari tujuh bulan lamanya—which has become a nightmare already for me. Gue mulai kembali menemukan versi diri gue yang dulu, yang gak mau pusing dan ribet dengan segala kecemasan diri, dan gampang lepas landas di arena tanpa banyak mikir. Ada tugas, yaudah babat, and turned out it was quite fun to do! Sibuk gue jadi lebih berharga. Gue hanya harus mengakhiri semua ini lebih cepat, pikir gue.
But then a real nightmare called covid-19 came to us. Saat gue lagi seneng-senengnya dateng ke sekolah dan bertemu dengan teman-teman yang menyenangkan, saat gue lagi semangat-semangatnya pergi ke perpustakaan buat skripsian, karena suasananya yang bikin tenang dan gak bikin gue pengen main medsos terus kayak di kosan. Awalnya gue masih optimis, it's not that bad to stay at home and doing anything online. I mean.. why not? This is what the digital era created for. Gue pikir gue masih bisa mengerjakan semuanya dari balik layar laptop. Literally, semuanya. Tapi ternyata ngerjain semuanya via online gak lantas bikin gue lebih semangat. Gue emang introvert akut, yang benci lama-lama ada di tempat keramaian, tapi diam di rumah untuk alasan pandemi gue rasa jadi mimpi buruk buat setiap orang. Kita jadi gak tenang. Banyak gelisah, bingung, stress, memikirkan rencana-rencana yang baru aja dibangun dan harus ditunda. Rasanya kayak diangkat setinggi-tingginya terus dijatuhin sekeras-kerasnya ke tanah. Gue seperti lagi dipermainin sama hidup; "nah kan, kena deh lu!" dan harus membangun rencana yang lain yang sesuai dengan kondisi sekarang—yang buat gue cukup menguras banyak pikiran dan kesehatan mental gue. I'm not saying i have an anxiety disorder or something because i haven't gone to an expert but this all chaos that's happening right now makes me mentally ill and tired. Gue selalu mulai mengerjakan sesuatu dengan emosi, dengan marah, dan dengan berat hati, apalagi kalau hal yang harus gue kerjain dirasa gak masuk akal dan mempersulit diri. Kalau bukan dinasehati berkali-kali dan berusaha menenangkan diri, gue mungkin gak akan mengerjakan satupun. Pekerjaan juga jadi terbengkalai. Padahal belum sebulan gue merasa bangga dan super seneng bisa juggling dari satu pekerjaan ke pekerjaan lainnya. I did even make money from my job. Pada akhirnya yang gue lakukan kebanyakan cuma diem. Sisanya paling milih ngejalanin hobi, kayak nyanyi-nyanyi, baca buku, nulis-nulis/bikin puisi-puisian, yang sama sekali gak ada hubungannya dengan segala pekerjaan yang harus gue selesain. Gue kembali nge-down, ngerasa depresi, stress, bahkan pas mau mulai ngerjain sesuatu gue terkadang ngerasa mual dan jijik duluan, yang pada akhirnya gak bikin gue bertindak apa-apa. Semua ini udah sampai pada titik dimana gue gak lagi mau mikirin keadaan orang lain di luar sana yang jauh lebih terpuruk menghadapi situasi pandemi hanya untuk bikin gue merasa lebih baik. Of course gue bersimpati, but it just doesn't work well for me. Setiap orang pasti punya struggle-nya masing-masing dan inilah bentuk perjuangan yang harus gue lalui.
Gue tahu, semuanya terkesan drama dan berlebihan. I also kept thinking that it was only me who felt that way, it was only me who thought i am the only one, it was only me who couldn't get over it, karena sepanjang yang gue lihat, banyak orang yang seperti biasa aja ngejalanin kegiatan mereka di tengah pandemi, khususnya di lingkungan sekitar gue, masih banyak dari mereka yang lancar-lancar aja melalui semester akhirnya. Tapi semakin gue pikirin, semakin gue sadar bahwa lagi-lagi hidup kita gak bisa disamain dengan orang lain. Langkah kaki kita gak mesti selalu sama dengan orang lain. There are things that just don't go easy for some people and they always have a reason for that.
Pelan-pelan gue menata diri lagi. Membiarkan semuanya berjalan dengan damai dan tenang. Apalagi ketemu bulan suci Ramadhan, gue harus bisa lebih tabah dan husnudzon sama Yang Maha Pemberi Hidup. Beberapa pertanyaan perlahan mendapat jawaban. Terkadang, kita memang harus membiarkan semuanya mengalir dengan sendirinya. Terkadang kita hanya harus berjalan di atas pilihan yang sudah kita buat sendiri. Lalu jalanin apa yang ada di hadapan. Bergelut dengan segala kekhawatiran hanya bikin harapan dan rencana kita semakin tertunda. Dan lo tau gak sih lucunya apa? Bisa aja semua ini bagian dari akal busuk setan dan antek-anteknya untuk buat kita menjauh dari apa yang seharusnya diri kita bisa perbuat; ikhlas dan sabar.
2020 mungkin memang mimpi buruk buat kita semua. Bahkan mungkin 2020 jadi satu-satunya tahun yang ingin dilupakan semua orang di belahan dunia, tapi kita juga nggak bisa ngelak it gives us so many lessons to learn. Kita jadi sadar betapa banyak waktu yang terbuang hanya untuk ngejar kenyamanan urusan dunia sampai rela bertarung dengan carut marutnya, kita jadi lebih menghargai waktu-waktu bersama keluarga yang selama ini jarang didapat, plus waktu-waktu bersama kolega, temen-temen dan sahabat yang justru sering nyita kesibukan kita di luar sana. Kita jadi semakin membuka mata bahwa kesehatan itu nomor satu dan penting untuk dijaga, either kesehatan mental atau fisik kita, dan bahkan dengan kenyataan bahwa kita masih bernapas dengan baik saat bangun di pagi hari adalah sesuatu yang sekarang ini amat sangat disyukuri.
So, ini pasti akan berakhir, insya Allah. Walaupun perjuangan kita sekarang lebih soal menghadapi sesama manusia yang egoismenya lebih besar daripada virus itu sendiri, gue percaya masih ada orang-orang waras di luar sana yang tetap sanggup menahan diri untuk nggak ikut-ikutan nyemplung di jalanan yang macet. Biarlah beauty vlogger dan suaminya yang viral itu lalai, asal kita jangan. Inget, asal kita jangan.