Kepeningan
gue minggu ini gak cuma disebabkan oleh tugas-tugas kuliah yang lumayan nguras
tenaga dan pikiran, tapi juga dipersembahkan oleh sebuah thread di linimasa
twitter seputar siswa korban pengeroyokan di salah satu pesantren yang berujung
meregang nyawa setelah berhari-hari koma.
Setelah
sebelumnya media sosial cukup geger sama video empat siswa SMP beserta bapak
salah satu anak yang ngeroyok seorang petugas kebersihan di sekolahnya, dan
video seorang siswa SMP yang ‘berani’ megang kerah gurunya sendiri, berita
tentang kematian santri di Padang itu gak kalah miris kalau mengulik betapa
rendahnya morality anak bangsa jaman sekarang. Tahun 2019 baru mau lewatin
Februari, tapi kasus tentang kebodohan-kebodohan murid nowadays udah menuhin
timeline kepolisian gue rasa. Ngeri, udah pasti. Miris. Gerah. Gak ngerti lagi
sama etika dan moral manusia-manusia abad ini. Diri seorang guru aja udah gak
ada harganya, apalagi nyawa, gue berani taruhan kalau orang-orang macem gini
memberi label mahal pada harga diri sendiri dibanding nyawa orang lain.
Murid
persekusi guru, murid tikam perut guru di kelasnya sendiri setelah
dinasehati—camkan, dinasehati cuy—, murid pukul kepala guru pake kursi sekolah,
murid keroyok guru, murid lapor guru gara-gara gak terima diceramahi, seorang
santri korban bully dikeroyok teman satu asramanya hingga meninggal, adalah
beberapa dari sekian kasus yang berhasil tercium media. Iya, kasus santri asal
PonPes di Padang Panjang itu bukan kasus pertama yang terjadi dalam kurun waktu
empat bulan. Masih di daerah Sumatera, kasus yang sama juga terjadi di salah
satu Pondok Pesantren di Ogan Ilir, Palembang, dan pelakunya berusia kisaran 14
tahun.
Kasus-kasus
itu bikin otak gue merembet kilas balik ke tahun sebelumnya, tentang kasus anggota
the jack yang habis dikeroyok sampai meninggal sama bobotoh waktu dia mau
nonton pertandingan antara persib lawan persija. Bunuh-membunuh kemudian bukan menjadi
hal tabu di telinga gue. Isu sosial tentang nyawa yang seakan dianggap murah
oleh orang-orang yang ‘kerasukan’ ini pada akhirnya bukan cuma terjadi di
lingkungan sekolah, antara murid dan guru, junior atau senior, bahkan sesama
teman sendiri, tapi juga terjadi di lingkungan masyarakat—so pasti. Dan bisa
dipastikan faktor lingkungan masyarakat ini yang secara langsung memberi andil
sangat besar terhadap krisis moral hingga di ranah pendidikan.
Sebelum gue
lanjut, here’s some informations that i think we all need. Faktor-faktor yang
bisa menjadi penyebab kerusakan moral di lingkungan sosial:
- Peran media massa dan perkembangan teknologi,
- Pendidikan di dalam keluarga,
- Pengaruh lingkungan,
- Perkembangan nalar tidak dimanfaatkan dengan baik atau bahkan tidak berkembang sama sekali,
- Hilangnya nilai-nilai kehidupan yang bisa diamalkan, seperti kejujuran dan rasa tanggung jawab, serta rendahnya disiplin,
- Tidak berpikir jauh kedepan,
- Memudarnya kualitas keimanan.
Gue jadi
teringat ketika gue di sekolah dulu, yang namanya pendidikan karakter, etika,
moral yang diajarin guru-guru disana masih berasa kerasnya sampai sekarang. Pernah
beberapa kali gue ngalamin yang namanya kontak fisik ringan semacam dicubit, ditempeleng
waktu kelas 4 SD gara-gara nggak bisa ngerjain soal matematika di papantulis, dilempar
penghapus+spidol, sampai ditunjuk-tunjuk depan muka (ini masuknya verbal sih). Yash,
gue anak yang lumayan bego dan bandel waktu itu. SMP lebih seringnya. Bukan karena
ngelakuin hal-hal gak wajar dan terlarang, tapi karena gak ngerjain tugas,
entah itu tugas yang ada di buku atau LKS. Alhasil gue beberapa kali dikeluarin
dari kelas dan gak boleh ikut pelajaran yang bersangkutan sama sekali selama
satu minggu itu. Mostly cuma di pelajaran IPA sih, that’s why kalo di matpel
Bahasa guru-guru gue gak percaya sebadung itu Aina ini sampe berani gak nyentuh
buku sama sekali. Oke, lanjut. Anehnya gue gak merasa ditindas sama sekali. Malahan
gak kepikiran yang namanya lapor ke polisi hanya untuk balas dendam—yang secara
nalar itu semua justru karena ulah gue sendiri. Jangankan lapor ke polisi, ngadu
ke orangtua aja kagak. Bisa-bisa gue sendiri yang justru kena marah emak babeh.
Selain
pengalaman pribadi, gue juga sering banget dapet cerita dari tante gue tentang
gimana killernya guru-guru dia di sekolah. Ketauan melamun dikit, lempar
penghapus yang segede gaban, atau nggak disuruh diem di depan kelas, nerangin
pelajaran. Malunya udah setengah mati. Bener-bener gak kebayang kalau sistem
pengajaran di sekolah-sekolah sekarang masih keras kayak dulu. Gue rasa laporan
di polisi penuh sama murid-murid yang merasa diinjak-injak dan tidak terima
dengan perlakuan gurunya.
Kalau
dipikir-pikir, kurang baik apa guru-guru jaman sekarang. Kenapa mental kita
harus terbiasa dengan istilah semakin dibaikin maka semakin ngerunjak? Lo
cuma dinasehatin men, dikasih tau mana yang baik dan buruk—padahal kalau untuk
merokok di dalam kelas menurut gue anak SD juga udah paham perbuatan itu salah,
tapi nyatanya masih ada siswa yang bahkan belum paham bagaimana menghargai
orang yang lebih tua, menghormati guru. Apa karena lagu hormati gurumu
sayangi teman udah hilang ditelan bumi, jadinya anak-anak jaman sekarang
nggak kenal yang namanya moral dan attitude?
Kalau
melihat secara general, memang, usia remaja itu paling rentan nggak bisa
mengontrol emosi atau perasaannya, jiwa mereka masih labil, masih menggebu-gebu
dan cenderung egois, hanya peduli dengan emosional diri sendiri, tapi itu tidak
berarti mereka belum tau mana yang baik dan buruk. Usia remaja cenderung
melakukan sesuatu karena keinginannya, terlepas dari perbuatan yang dia lakukan
itu salah atau benar, yang mereka tau mereka bisa menentukan sendiri mana
langkah yang ingin diambil. Dan hal-hal yang mendorong keinginan untuk memilih
atau berbuat sesuatu yang salah itu ada di faktor-faktor yang udah gue sebutin
di atas.
Globalisasi,
as we all know, jadi biang kerok dari menurunnya morality generasi muda
sekarang ini. Media sosial, terutama. Sebuah platform dimana orang-orang bisa
sesuka hati mendapatkan apa yang mereka mau, dan selebihnya bisa dengan mudah diaplikasikan
dalam kehidupan sehari-hari, but in negative ways. Dari penggunaan smartphone dan
media sosial, peran orangtua bisa sangat sangat berperan untuk membentuk
karakter anak mereka di lingkungan sekitar. Gue gak perlu ngejelasin lagi kalau
sekarang anak kelas 3 SD juga banyak yang bawa gawai ke sekolah. Seringkali anak-anak
muda yang labil dan bener-bener clueless soal etika ini justru kurang mendapat
pengawasan dari orangtua mereka.
Para orangtua
seperti belum sadar betul bahwa teknologi ini ibarat penyakit, virus yang bisa
kapan saja hinggap di badan anaknya. Gak cuma soal pengawasan, pendidikan yang
dibentuk dalam keluarga itu sendiri memberi pengaruh besar terhadap sikap sang
anak. Ketika ada seorang siswa yang bersikap tidak sopan dan semena-mena kepada
gurunya, maka bisa dipastikan ada yang salah dari sistem pembentukan karakter
di keluarga mereka. Entah karena masalah broken home, situasi rumah yang kurang
harmonis, atau orangtua yang sama-sama sibuk bekerja sampai gak ada waktu untuk
anak mereka. Sehingga apa yang mereka bawa ke sekolah itu murni hasil dari yang
dia dapatkan selama di rumah.
Tapi, gue
harus akui, kondisi ini gak melulu diakibatkan dari lingkungan keluarga. Ada yang
didikannya keras, tapi anaknya jadi kebawa keras. Ada juga yang keluarganya
religius, tapi si anak bertindak berseberangan. Biasanya hal itu disebabkan oleh
lingkungan sosial. Lingkar pertemanan yang dipilih nggak membantu dia untuk
mengamalkan apa yang diajarkan orangtua dan guru di sekolah. Sisanya seperti
yang gue sebutkan, nilai-nilai kehidupan terkait rasa peduli, tanggung jawab,
kejujuran dan kedisiplinan menjadi timpang, yang dengan munculnya hal tersebut
jadi bisa mempengaruhi perkembangan nalar si anak. Seiring dengan tingkat
intelektualitas yang semakin tinggi, maka seharusnya kemampuan untuk berpikir
kedepan, dan menimbang segala konsekuensi atas sikap yang ditunjukannya menjadi
lebih besar. Sayangnya, rata-rata siswa yang di ambang batas itu kurang baik
dalam mengelola perkembangan nalar mereka.
Jadi, apa
dong yang mesti diubah?
Setiap kali
kita bikin rumusan masalah, yang jadi jawaban pasti adalah tujuan dari mengapa
rumusan masalah itu dibuat. Menurut gue, beberapa aspek yang gue sebutkan tadi
sudah cukup menjadi jawaban bahwa itulah yang sedang menjadi krisis dalam
pendidikan karakter anak bangsa. Artinya ranah itu yang bisa kita gali, yang
bisa kita perbaiki. Dimulai dari pembenahan pada sistem pendidikan karakter di
dalam lingkungan keluarga, ruang lingkup pertemanan atau pengaruh masyarakat, penggunaan
smartphone, dan perubahan pola pikir remaja yang mesti selalu diarahkan. Bagaimana
siswa ini mampu memanfaatkan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan
baik, memperluas wawasan dan pengetahuan dalam ranah ilmu pengetahuan dan
kehidupan sosial.
Melihat dari kasus yang baru-baru ini viral, gue pikir orangtua lah yang harus bertanggung jawab mendidik anaknya, bukan cuma apa-apa menyalahkan guru yang ada di sekolah. Pola pikir orangtua yang terlalu memanjakan anaknya harus berhenti menganggap bahwa sekolah itu tempat penitipan anak, karena sama sekali bukan. Sekolah bukan tempat dimana lo numpang membesarkan anak dan cuma diempanin materi pelajaran, setelah itu gak tau akan jadi apa anaknya nanti ketika bersosialisasi di lingkungan sosial. Sekolah itu tempat mencari ilmu, sebuah sarana dimana anak dituntut untuk memiliki moral dan etika yang tidak menyimpang, tempat mereka dibina dan didik.
Ketika mereka melakukan kesalahan, guru yang berhak menegur dan memperbaiki. Dan ketika anak mengadu kepada orangtua mereka terkait beberapa treatment pendidikan yang diberlakukan di sekolah, maka orangtua harus memberikan pengertian dan pendidikan tambahan yang semestinya di dalam keluarga. Kalau salah, ya salah. Kalau gurunya yang salah, ya bantu ingetin. Bukan asal main keroyok, atau lapor atas isu penganiayaan. Padahal salahnya sendiri kalau si anak gak bisa kooperatif dengan lingkungan dan norma-norma sosial di sekitarnya.
Anyway, gue baru aja baca-baca soal pendidikan karakter, etika, moral, dan budi pekerti di sekolah. Sebenarnya semua hal yang menyangkut pendidikan sikap itu udah ada dari kapan tau. Hampir keseluruhan ada di setiap mata pelajaran yang ada di sekolah. Hanya saja kebanyakan apa yang disampaikan masih berupa pengenalan nilai-nilai atau norma, belum secara optimal menyentuh tingkatan internalisasi dan tindakan nyata dalam kehidupan sehari-hari.
Ketika mereka melakukan kesalahan, guru yang berhak menegur dan memperbaiki. Dan ketika anak mengadu kepada orangtua mereka terkait beberapa treatment pendidikan yang diberlakukan di sekolah, maka orangtua harus memberikan pengertian dan pendidikan tambahan yang semestinya di dalam keluarga. Kalau salah, ya salah. Kalau gurunya yang salah, ya bantu ingetin. Bukan asal main keroyok, atau lapor atas isu penganiayaan. Padahal salahnya sendiri kalau si anak gak bisa kooperatif dengan lingkungan dan norma-norma sosial di sekitarnya.
Anyway, gue baru aja baca-baca soal pendidikan karakter, etika, moral, dan budi pekerti di sekolah. Sebenarnya semua hal yang menyangkut pendidikan sikap itu udah ada dari kapan tau. Hampir keseluruhan ada di setiap mata pelajaran yang ada di sekolah. Hanya saja kebanyakan apa yang disampaikan masih berupa pengenalan nilai-nilai atau norma, belum secara optimal menyentuh tingkatan internalisasi dan tindakan nyata dalam kehidupan sehari-hari.
Intinya,
pendidikan moral itu penting untuk memupuk sikap siswa agar menjadi pribadi
yang tidak buta tata krama dan sopan santun. Dalam hal ini, gue jadi merasa setuju
dengan senioritas secara general. Yang namanya menghormati dan menghargai
seseorang yang lebih tua atau lebih tinggi dudukannya di atas kita adalah
sebuah wujud dari etika yang mencerminkan moralitas bangsa.
Ini gue
udah kayak nulis makalah daritadi, gak sadar udah 1600 lebih kata bray. Ada yang
menyadari sesuatu gak? Atau menyadari ada yang kurang, gitu? Yep.
In the
end, pendidikan agama lah fondasi yang teramat penting dan perlu untuk terus
diberikan kepada anak-anak sejak dini, agar ketika mereka kehilangan arah, ada
batasan yang bisa dihindari, ada hati yang bisa dijadikan pegangan. Islam, kristen,
katolik, hindu, buddha. Terlepas dari pandangan masing-masing penganutnya, gue
percaya semuanya mengajarkan kebaikan, dan menjadi pijakan dalam setiap tutur
kata dan perbuatan penganutnya.
Akhir kata,
gue ingin mengungkapkan rasa terimakasih dan syukur gue karena besar dan
lahir di dalam keluarga yang cukup keras didikannya. Entah itu secara sosial
atau agama. Berkaca pada segala problema yang gue alami sampai detik ini,
mungkin gue udah jadi anak nakal dan brandal andai kata fondasi itu gak gue
dapatkan sepanjang proses gue hidup.
Walaupun gak
mungkin, karena mengingat dunia yang udah makin tua, tapi gak ada salahnya
berharap. Semoga Indonesia bisa bangkit dari krisis moral. Aamiin.