Tulisan ini seharusnya udah nangkring dari sebulan yang lalu,
tapi akibat berbagai kesibukan dan kemalasan (again), akhirnya baru bisa
gue publish sekarang. Berhubung hampir satu bulan kemarin pikiran gue seakan
dicekokin dengan isu tentang pendidikan, keinginan untuk punya bahasan soal ini
akhirnya terpecahkan.
Bicara soal pendidikan, jelas gue bukan satu-satunya orang
yang langsung berpikir bahwa hal itu ibarat fondasi dan sangat sangat penting
dalam kehidupan kita, walaupun setiap orang punya ukuran tersendiri tentang
seberapa penting persentase pendidikan dalam hidup mereka. Apakah hanya untuk
dapetin ijazah atau bener-bener ingin jadi orang yang berpendidikan? Who
knows. Tetapi kalau kita bicara soal pendidikan di Indonesia, satu hal yang
muncul di kepala gue adalah, kompleks. Kenapa? Karena saking banyaknya
permasalahan yang ada terkait isu pendidikan. Mungkin beberapa dari kalian,
begitupun gue, cuma tahu soal pendidikan yang kurang merata, pendidikan
yang stuck di tempat walau anggaran mencapai lebih dari 400
triliun rupiah, kualitas pendidikan yang tertinggal 128 tahun dari negara lain,
dan pendidikan yang seperti tidak berjalan seimbang dengan infrastruktur.
Kenyataannya, permasalahan kita lebih dari itu.
Pada tanggal 21 – 25 Januari kemarin, gue baru saja mengikuti
kegiatan PengMas atau pengabdian kepada masyarakat di daerah Parongpong,
Lembang yang diselenggarakan oleh Himpunan Mahasiswa di jurusan gue. Selama
lima hari disana, ada banyak hal baru yang gue temukan seputar kehidupan
masyarakat di daerah terpencil. Gue serasa diingatkan dengan sebuah artikel
yang pernah gue baca di majalah digital online asal Australia, Inside
Indonesia, tentang sudut pandang seorang ahli epidemiologi, penulis, dan
petualang Elizabeth Pisani yang memilih cuti dari pekerjaannya pada akhir tahun
2011 untuk berpetualang di Indonesia, dan sampai saat ini telah melewati
puluhan pulau di 27 provinsi. A Nation of Dunces merupakan
salah satu hasil pengamatannya dalam isu pendidikan selama ia berada di
pulau-pulau terpencil di Indonesia, dan artikel ini diterbitkan sekitar tahun
2013, yah, waktu yang sangat lama untuk gue baru menemukan situs ini di tahun
2018 kemarin, like, you need five years to know this kind of thing is
existed! Buat yang pingin baca, gue taruh linknya di bawah, yep.
Pengalamannya selama tinggal di sebuah desa di Sulawesi
Tengah, Palu, membawa Elizabeth pada keprihatinan dan kekhawatiran ketika
melihat bagaimana sistem pendidikan Indonesia berjalan. Dari mulai sistem
pengajaran termasuk komponen-komponen di dalamnya, sarana dan prasarana, dan
sebagainya. Dari masyarakat pedesaan, pengajar, siswa, sampai berakhir di
tangan pemerintah sendiri. Ternyata tanpa kita sadari, masih sangat banyak
masyarakat disana yang buta huruf, dan gak ada sama sekali kesadaran dan
kemauan untuk setidaknya bisa membaca. Gak cuma itu, mereka benar-benar
bergantung dengan yang namanya kalkulator, bahkan hanya untuk penghitungan yang
bagi kita selama ini mungkin udah ada di luar kepala sekalipun.
Elizabeth was sitting at ‘warung’, waiting to pay for her
coffee. Two coffees, in fact, and two cakes. The warung owner whips out a
calculator and starts to punch numbers into it: 2000 + 2000 + 1000 + 1000 =
6000. She gave him a 10.000 rupiah note. ‘Clear’, he punches. Then 10.000 -
6000 = 4000, and he counts out two 2000 rupiah notes and gives Eli her change.
Meanwhile, other clients wait for their coffee. Is it really possible
that he can’t do these sums in his head?
See?
Situasi lain yang juga berhasil bikin gue miris adalah ketika
Elizabeth tinggal di salah satu rumah warga, dimana pemilik rumah tersebut
adalah seorang guru. Yang beliau tahu, sekolah di Indonesia rata-rata masuk
pukul 07.00 pagi, tapi saat itu ibu pemilik rumah bahkan belum siap-siap untuk
berangkat ke sekolah dan masih sibuk di dapur. Elizabeth ini merasa, mungkin
itu salahnya karena dia udah mengganggu kenyamanan dan ketenangan keluarga
tersebut selama tinggal di rumah. Oleh karena itu dia inisiatif bertanya
tentang jam berapa sekolah mulai KBM, tapi jawaban ibu tersebut justru
berbanding terbalik dengan kehusnudzonannya. Intinya secara nggak langsung ibu
bilang walaupun sekolah dimulai pukul 7 pagi, gak masalah kalau dia datang
terlambat. Dan karena dari sekian guru yang biasa dateng cuma seperempatnya,
bahkan kurang, maka sudah biasa kalau dia gak datang tepat waktu,
murid-muridnya pasti bisa memaklumi. Elizabeth kemudian ikut ibu ke sekolah
untuk bantu ngajar bahasa Inggris, dia kebagian kelas empat dan enam. Sementara
ibu ngajar di kelas peganggannya, yaitu kelas satu.
Terus gimana sama kelas
dua, tiga, dan lima? Murid-murid yang usianya kisaran 7, 8 sampai 10 itu
dikasih instruksi untuk masuk ke kelas mereka, ngerjain sesuatu lewat buku
ajar, dan disuruh nunggu sampe guru mereka datang. Tapi pada kenyataannya, gak
ada satupun guru yang terlihat mengajar atau datang ke sekolah, kecuali ibu.
Jadi, di sekolah tersebut satu guru biasa megang dua atau
tiga kelas. Bukan karena jumlah pengajarnya kurang, tapi karena dari sekian
guru, hanya sedikit yang bela-belain datang ke sekolah untuk mendidik anak-anak
di desa tersebut. Situasi ini kembali mengingatkan gue dengan kondisi sekolah
di daerah perbatasan, Entikong, Kalimantan Barat. Walaupun gue gak lolos seleksi
tahap II untuk jadi volunteer di kegiatan PengMas disana, tapi sedikit
banyaknya gue dapet cukup informasi lewat media sosial Beasiswa 10000. Sama
sekali gak berbeda jauh, bahkan situasi di Entikong lebih parah. Pada satu
sekolah, bisa dipastikan hanya ada dua guru yang mengajar dan beliau-beliau ini
harus membagi antara kelas 1-3 dan kelas 4-6, tentu, dengan gaji yang ala
kadarnya.
Iya lah, apa sih yang lo harapkan dari ngajar di suatu daerah
perbatasan dan terpencil yang sama sekali gak mendapat perhatian pemerintah?
Kembali ke topik soal jumlah pengajar yang kasarnya udah
sedikit, tapi justru gak semua dari mereka bersedia mengabdi untuk pendidikan.
Cukup miris kalau ingat apa sebenarnya tujuan mereka jadi guru. Apa cuma untuk
dapet jabatan dan supaya gak diledek sebagai pengangguran? Kalau gue sih
kayaknya lebih milih jadi pengangguran dibanding punya profesi guru, tapi
justru gak berkontribusi apa-apa di dalamnya. Dan ini juga yang sebenarnya jadi
masalah cukup serius. Ada banyak orang yang kuliah untuk jadi guru, tapi justru
nggak niat jadi guru. Mereka hanya mengandalkan profesi dan jabatan, akibat
label PNS yang menggiurkan. Akhirnya yang bisa dihasilkan hanyalah dateng ke
sekolah seminggu sekali tanpa memberi pengajaran apapun, alias cuma kasih
materi yang ada di buku, terus siswa-siswanya disuruh nyalin, deh. Gak heran
kalau masih ada masyarakat yang ngitung 2000 + 2000 + 1000 + 1000 aja masih
pake kalkulator.
Tapi sih, usut punya usut, para pengajar yang gak dateng ke
sekolah itu bertindak bukan tanpa alasan, tapi karena memang bantuan dan
kepedulian dari pemerintah disana dirasa sangat kurang, seperti yang udah gue
sebut-sebut sebelumnya. Segala fasilitas baik untuk pengajar dan siswa, serta
tunjangan tidak begitu diperhatikan, padahal banyak dari mereka yang jarak
antara rumah dan sekolah cukup jauh. Jadi, yang dituntut untuk berjuang bukan
hanya murid, tetapi juga pengajar itu sendiri.
Situasi-situasi kayak gitu lagi-lagi gak jauh berbeda dengan
apa yang gue alami ketika PengMas kemarin. Di SDN Tunas Karya, satu kelas dari
setiap angkatannya rata-rata cuma ada 16 – 20 murid. Ketika gue tanya sama
salah satu guru kenapa hanya sedikit siswa yang dateng ke sekolah tersebut,
beliau bilang kalau orangtua anak-anak di sana ternyata masih kurang peduli
akan pentingnya pendidikan. Di antara mereka masih ada yang berpikir, kalau
wong cilik, wong deso ya jadi wong ndeso aja, gak perlu sekolah tinggi-tinggi,
apalagi perempuan. Mereka lebih sering menyuruh anak-anak mereka untuk ngurus
hewan ternak, ngasuh adik, atau ikut berkebun dan berjualan. Karena itu juga
akhirnya guru-guru disana yang harus turun tangan dari rumah ke rumah untuk
memberi pengertian kepada setiap orangtua supaya mau menyekolahkan anaknya. Gue
yang awalnya suudzon sama guru-guru yang nggak datang ke sekolah dan cuma
mengandalkan jabatan itu agak terketuk karena ternyata masih ada juga yang
peduli dengan murid-muridnya, terkhusus dengan kondisi yang memprihatinkan
tentang masyarakat yang kurang memperhatikan pendidikan anak mereka di saat
situasi udah meng-global seperti sekarang. Terus beliau juga cerita, kalau
total pengajar di SD tersebut ada 8 orang, tapi yang biasa dateng cuma
setengahnya, maksimal lima. Most of them juga rumahnya cukup
jauh dari sekolah. Again.
Setelah gue pikir-pikir, sebenarnya semua masalah saling
berkaitan. Gak cuma tertumpu pada pemerintah, serta para birokrat yang cuma
mengejar jabatan dan lupa pekerjaan, tapi juga terletak pada tingkat kesadaran
masyarakat terhadap pendidikan yang rupanya masih belum merata sempurna.
Situasi ini udah kelewat memprihatinkan, apalagi kalau melihat bahwa kita udah
bukan tinggal di era 60-an dimana nggak sekolah karena sekolah jauh dan sulit
itu masih suatu kewajaran. Tapi setelah dipikir-pikir lagi, jantungnya masalah
itu ada di akar. Akar dari sebuah tindakan itu ada pada pemikiran, bukan? Dan
ini yang harus ditanam pada masyarakat pedesaan yang kurang peduli akan
pendidikan. Supaya anak-anak mereka gak tumbuh jadi pribadi yang apatis dan
nggak mewarisi kebobrokan orang-orang di birokrat.
Omong-omong, gue bukan mau sok idealis. Gue juga gak
bener-bener amat jadi orang. Lempeng aja. Gue cuma percaya bahwa sesuatu yang
buruk itu bisa diubah, bisa dipoles, karena gue peduli dengan kondisi
lingkungan dan masyarakat gue bertahun-tahun yang akan datang. Gue gak mau
tinggal di suatu negara yang stuck, karena masyarakatnya cukup setia dengan
label negara berkembang, yang sebenarnya gak berkembang-berkembang amat. Gue
juga gak mau negara gue dicap gagal padahal kita terlalu besar untuk itu, hanya
karena terlalu banyak guru, tetapi terlalu sedikit yang diajarkan.
There is as
yet no system for rewarding people who work harder, who teach better, who
inspire kids to think, to explore, to develop their potential.
Mengutip dari artikel tersebut, menurut gue negara kita
memang masih belum sadar betul bahwa yang namanya timbal balik dan
penghargaan itu dibutuhkan dalam suatu pekerjaan. Bukan, gak melulu harus
tentang gaji. It's not aall about money. Gue yakin ada yang
lebih membahagiakan dari sekadar memberi tunjangan atau gaji yang naiknya gak
seberapa. Ada perkara yang lebih besar dari itu. Kalau gue boleh sedikit
puitis, contohnya menunduk ke bawah, melupakan sejenak kerusuhan yang dibuat
orang-orang tamak di depan sana, dan menyadari bahwa kita kelak akan tua. Ada
wajah-wajah baru yang harus menelan kepahitan karena kita. Ada semangat baru
yang harus menyongsong bumi pertiwi. Minimal peduli aja dengan masa depan
anak-anak bangsa, gue rasa dengan itu udah jadi semangat untuk guru-guru di
daerah pedalaman sana yang hopeless dengan kondisi pendidikan
mereka.
Karena tanpa disadari, akhir-akhir ini kita itu terlalu sibuk
cuap-cuap soal presiden, pemerintahan sekarang, orang-orang yang tahu hukum
saling sindir dan lapor akibat ucapan mereka sendiri, seakan-akan hanya itu
permasalahan negara. Asal kalian tau aja, orang-orang yang tinggal di desa
terpencil sana mana peduli sama pemilu. Gak sedikit dari mereka yang nggak
kenal sama salah satu paslon, atau keduanya, atau bahkan pemimpin mereka yang
sekarang. Yang mereka tahu, mereka cuma harus berjuang tiap hari buat makan,
melangsungkan hidup. Yang mereka harap cuma pemerintah yang lebih maju, yang
nggak cuma cuap-cuap pas lagi kampanye, yang gak cuma ngomong depan kamera
selayaknya artis.
Akhir kata, gue harap pemerintahan yang baru nantinya bisa
lebih aware dengan kondisi pendidikan, alias gak cuma bangun
ini itu hanya supaya bisa bersaing dengan negara lain. Jumlah dan kualitas
pengajar di setiap desa baik di daerah-daerah terpencil atau perbatasan bisa
sama rata, tentunya dengan penghasilan dan tunjangan yang lebih baik. Gue harap
juga kualitas pengajaran yang diberikan bisa sesuai dengan keadaan jaman
sekarang dimana para siswa dituntut untuk berpikir lebih kreatif dan inovatif, jadi problem
solver dari sejak dini dan gak melulu dikasih ceramah sama guru. Gue
rasa akan lebih membanggakan kalau anak-anak muda kita yang justru nangkring di
deretan universitas-universitas bergengsi di luar negeri, atau
kompetisi-kompetisi bertaraf Internasional dengan segudang prestasi mereka.
Apalagi kalau di dalamnya diisi oleh mereka-mereka yang datang dari pedalaman,
yang selama ini gak mendapat pendidikan setaraf dengan mereka yang tinggal di
perkotaan. Terharu gue ngebayanginnya:') Semakin terharu kalau ngebayangin
tentang negara gue yang, sayang, terlalu besar untuk gagal. Sekian.
Link: