Akhirnya, gue menulis lagi disini setelah berjanji kepada diri sendiri untuk tidak menuliskan hal yang sama tentang kebencian akan negeri ini di hari-hari selama peringatan kemerdekaan. Namun nasib demokrasi yang memang nyawanya sudah tak kelihatan ini lagi-lagi terus digerus marwahnya.
Baca: Bukan Salah Indonesia
Lima tahun lalu, saat masih begitu segarnya gue menetas untuk ikut serta mencoblos dalam pemilu Presiden 2019, gue sempat menuliskan keresahan gue pertama kali di blog. Keresahan menjadi seseorang yang muak dengan segala carut marut polarisasi politik yang terjadi. Tahun itu, gue lantas memilih Prabowo pada Pemilu pertama gue.
Lima tahun berikutnya, pemilihan umum baru saja digelar. Well, ternyata lebih cepat dari pemilu sebelumnya yang dilaksanakan pada bulan April. Dalam lima tahun ini pula, gue bersyukur masih memiliki api itu di dalam diri gue. Api-api keresahan yang menyala setelah sempat padam di tahun yang sama tidak lama setelah gue memilih Prabowo saat itu, karena semua tahu dengan siapa Prabowo bekerja pada akhirnya. Api-api yang sempat hilang, sebab gue sudah begitu pesimisnya dengan kebobrokan yang ada di negeri ini.
Gue sempat berpikir beberapa bulan lalu, apakah idealisme gue benar-benar sudah seluntur itu? Karena setelah gue lulus kuliah dan terjun ke dunia kerja, gue sudah tidak memiliki tenaga sebanyak itu untuk sekadar berkomentar tentang politik, sosial, dll. Bahkan akun Twitter (sekarang X) gue sempat mati suri beberapa tahun lamanya. Hanya update singkat tentang kehidupan sehari-hari.
Namun hingga di penghujung tahun 2023 lalu, rasa muak dan keignoransian gue benar-benar diuji ketika menemukan berita tentang pencalonan salah seorang CAWAPRES---yang kini sudah kita ketahui semua hasilnya. Perlu gue garisbawahi karena sepertinya orang-orang lupa soal ini. Ralat. Orang-orang baru sadar bahwa ada politik dinasti yang terang-terangan dibangun sejak kemarin. Ya, gue tidak akan lupa mulut ini masih sering berbusa ketika menyebut tentang Gibran, anak haram dari konstitusi yang dilanggar.
Beberapa bulan selesai dari pilpres, menjelang Pilkada 2024, usaha kita untuk tetap tabah di tengah gempuran aksi bodoh pemerintah tampaknya memang sengaja terus diuji demi melanggengkan calon-calon penerus politik dinasti ini. Lihat, kan? Bagaimana ketar ketirnya presiden yang diyakini polos itu susah payah mengerahkan seluruh armadanya agar segala peraturan bisa ia obrak-abrik?
Angin segar demokrasi dari MK ketika mengabulkan sebagian permohonan Partai Gelora dan Partai Buruh, untuk dapat mengusung calon gubernur tanpa harus memenuhi Pilkada Threshold 20% dari kursi DPRD, setelah semua partai oposisi bergabung dengan KIM+ yang menihilkan kesempatan untuk melahirkan calon-calon pemimipin baru dari kader parpol lainnya ibarat hanya prank. Karena dalam kurun waktu kurang dari 24 Jam, DPR morat marit berusaha menjegal dengan menyelenggarakan rapat baleg untuk merevisi Undang-Undang Pilkada. Bahkan sebelum itu, Presiden sempat memanggil Menhumkam yang baru. Meski entah untuk objektif apa, tapi semua tindakan itu dilakukan hanya berlangsung kurang dari satu malam!
Tak lama dari situ, muncul gerakan di media sosial dimana orang-orang beramai-ramai mengunggah gambar lambang garuda dengan tanda "Peringatan Darurat" berwarna biru yang diinisiasi oleh akun wibu bernama @BudiBukanIntel, yang kemudian diteruskan oleh lebih banyak akun influencer dan media, termasuk Narasi dan Mata Najwa.
Munculnya peringatan darurat dengan simbol perlawanan berwarna biru ini bukanlah pergerakan sekonyong-konyong yang sekadar riding the wave. Sebab ini adalah puncak dari kesabaran rakyat yang selalu diuji, dibodoh-bodohi, dibuat illiterate, dikhianati, dimarjinalkan dari segala kepentingan yang seharusnya kita dapatkan.
Coba kita rewind sejenak apa saja berita pemerintahan selama satu pekan yang pantas memicu gerakan masif ini.
Pertama, berita data hasil riset tentang potensi Megathrust di Indonesia diiringi tanpa informasi mitigasi bencana oleh lembaga terkait, yang hanya menimbulkan kegaduhan dan ketakutan publik.
Kedua, Presiden dan kroninya yang membuang-buang anggaran sebanyak 87 Milyar untuk satu kali perayaan Hari Kemerdekaan di IKN, ibukota baru yang kontroversial dan cacat lingkungan, menutup pintu dari penduduk lokal yang ingin ikut serta menyaksikan upacara pengibaran bendera. Tak hanya itu, sebelumnya sempat kembali ramai berita bahwa Jokowi telah menjual tanah negara tersebut kepada investor asing untuk 190 tahun lamanya---hampir dua abad.
Ketiga, sejumlah partai yang dulunya setia oposisi kini menyatakan keberpihakannya untuk bergabung bersama Koalisi Indonesia Maju, berbondong-bondong mencalonkan satu pasangan Cagub dan Cawagub DKI untuk melawan kotak kosong.
Sisanya silakan boleh tambahan sendiri jika ada yang kurang.
Dengan semua berita memuakan ini, gerakan Peringatan Indonesia Darurat menjadi sangat wajar untuk tiba-tiba digaungkan di seluruh linimasa.
Maka dari itu, biarlah jika kita semua FOMO memasang prompt di IG Story untuk menyebarluaskan informasi ini. Karena seperti yang gue bilang, sejatinya ini bukan cuma gerakan FOMO yang tiba-tiba muncul seperti halnya "July Dump", "August Dump", "Photos of the Month Dump" yang biasa muncul pada setiap akhir bulan sebagai penutup hari. Ini semua puncak dari segala kemuakan kita terhadap keserakahan Mulyono dan keluarganya yang semakin tidak terbendung, serta ketidakberdayaan para wakil rakyat yang takut binasa oleh Raja Jawa.
We deserve a good life, we deserve the chance to have DEMOCRACY in our land, as this is GOD'S GIFT, NOT JOKOWI'S. Negara bukanlah perusahaan perseorangan milik keluarga Mulyono, Cendana, Soekarno atau siapapun!
Ah, satu lagi. Pun jika ini semua hanyalah FOMO. Mungkin mereka benar. Karena seperti yang dikatakan salah satu pengguna X ini.
We're not Fear of Missing Out, but Fear of Mulyono's Oligarchy.