Belum lama ini ramai fenomena gaya hidup tanpa-anak a.k.a childfree/childless menghiasi linimasa media sosial. Saya yang sudah mendengar konsep ini wara wiri sejak beberapa waktu lamanya, agak tergelitik ketika mengetahui fakta bahwa yang membuat isu ini menjadi trending adalah netizen yang bukan penganut childfree yang seolah kebakaran jenggot ketika menemukan prinsip yang bertentangan dengan kebanyakan orang (kedepannya saya akan gunakan kata childless karena preferensi pribadi).
Padahal, sudah cukup lama dan seringnya influencer Gitasav yang mengangkat isu ini bicara tentang pilihannya untuk childless. Yah, memang kenyataannya pro-kontra akan selalu ada, sih. Terlebih untuk negara kita yang mayoritas muslim konservatif, pemikiran-yang-dianggap tabu sebab datang dari negara barat nggak ubahnya ibarat pemahaman anak SD yang mentah dan seakan-akan nggak lolos "sertifikasi" ketika masuk ke Indonesia.
Sama seperti isu feminisme yang dianggap melekat dengan embel-embel LGBT, kita pikir paham ini hanya berlaku untuk para non-binari yang kehilangan haknya dalam bermasyarakat di segala aspek kehidupan. Padahal, feminisme jelas datang sebagai penyelamat bagi kawan-kawan puan yang tertindas dan mendapat perlakuan nggak adil berdasarkan budaya misoginis dan sistem patriarki yang dianut sebagian besar bangsa-bangsa di dunia. Hak-hak untuk mendapat keadilan dalam lingkup politik, pendidikan, pekerjaan, sosial dan masyarakat itulah yang menjadi tujuan mereka sesungguhnya. Namun ibarat peribahasa nila setitik rusak susu sebelanga, beberapa kelompok seakan menihilkan mimpi besar ini.
Mungkin mereka lupa, R.A Kartini juga bagian dari pergerakan feminisme, yang sering kita bungkus dengan istilah emansipasi. Begitu pun dengan konsep childless. Kelompok-kelompok penentang ini bersikukuh bahwa gaya hidup tanpa-anak hanyalah trend atau gaya-gayaan orang luar negeri saja yang memang malas nggak mau punya anak. Padahal tentu kenyataannya nggak semudah seperti apa yang dibayangkan.
Lagi-lagi sebagaimana childless adalah konsep pemikiran yang dianggap melenceng, orang-orang yang memiliki prinsip yang berbeda ini juga dapat dengan mudahnya dicap nggak cukup Islami oleh beberapa kalangan.
"Halah darimana itu pemikiran! Jelas-jelas jadi orangtua itu ibadah untuk mendapat ridho Allah."
"Kasihan satu amalan jariyahnya terputus."
"Perempuan kok melawan kodrat. Punya rahim tuh ya dimanfaatkan. Nggak kasihan apa sama perempuan lain yang pingin punya anak tapi nggak bisa? Respek dong!"
"Jangan menikah kalau takut punya anak. Apalagi ketakutan gara-gara lingkungannya gak cukup nyaman untuk ditinggali. Kalau begitu Anda nggak percaya sama Tuhan."
"Kasihan satu amalan jariyahnya terputus."
"Perempuan kok melawan kodrat. Punya rahim tuh ya dimanfaatkan. Nggak kasihan apa sama perempuan lain yang pingin punya anak tapi nggak bisa? Respek dong!"
"Jangan menikah kalau takut punya anak. Apalagi ketakutan gara-gara lingkungannya gak cukup nyaman untuk ditinggali. Kalau begitu Anda nggak percaya sama Tuhan."
Dan masih banyak lagi.
Rasa-rasanya nggak habis manusia dicekoki beragam tekanan yang datang dari sesamanya sendiri. Belum menikah, disuruh cepat menikah. Ketika sudah menikah, seolah dipaksa untuk memiliki anak—walaupun itu bukan satu-satunya tujuan setiap pasangan dalam pernikahan. Seakan-akan kalau nggak memiliki anak adalah dosa besar yang bisa menimpa seisi dunia. Padahal agama Islam sendiri agama yang rahmatan lil 'alamin. Manusia diberi akal agar mereka bisa berpikir dan memilih sendiri jalan yang menurutnya baik dan benar—meskipun pada akhirnya pilihan kita yang barangkali menentukan takdir kedepannya yang memang sudah Allah tetapkan di Lauhul Mahfudz.
Kita diberikan kebebasan untuk menentukan mana yang baik dan nggak untuk diri kita sendiri berdasarkan berbagai pertimbangan. Memang semua ada hisabnya, baik memiliki anak atau nggak. Namun kenapa pula, sih, situ yang panik ngurusin hisab (pertanggungjawaban) orang lain? Pilihan kita tanggung jawab masing-masing, kok.
Daripada sibuk mengkonfrontasi prinsip hidup pasangan-pasangan anti-mainstream ini, lebih baik bantu tingkatkan kesadaran di lingkungan sekitarnya soal keadaan bumi yang semakin kesini semakin rusak ditinggali manusia-manusia serakah. Supaya kehidupan anak cucu kita bisa sejahtera. Itu termasuk menjalankan ibadah dan tugas sebagai orangtua, bukan?
Konfrontasi yang bermunculan di publik ini alhasil hanya menimbulkan kebencian dan permusuhan antar sesama komunitas muslim itu sendiri—sesuatu yang jelas nggak merepresentasikan agama yang penuh kedamaian dan toleransi. Tindakan semacam inilah yang membuat orang lain bisa-bisa punya anak bukan karena keinginan dan atas kesadaran sendiri, tapi semata-mata untuk memenuhi kewajiban sosial.
"Memangnya ada ya yang begitu?"
Oh ya jelas, bung. Buktinya banyak istri-istri korban kekecewaan mertua di luar sana yang mengalami tekanan batin karena belum juga bisa "memberikan" cucu meski sudah di usia pernikahan yang kesekian. Tanpa menyarankan untuk konsultasi ke ahlinya, dengan seenaknya saja para mertua ini menyalahkan sang istri yang nggak melahirkan keturunan. Padahal bisa saja yang infertil ini justru pihak suami, toh. Okay, sepertinya saya terlalu banyak menonton mega-series Suara Hati Istri di saluran ikan terbang. Tapi, perlu diketahui, bahwa sedikit banyaknya kasus tersebut juga terjadi di kehidupan sehari-hari kita.
Lebih dari itu, sebetulnya pengkhayatan keislaman seseorang nggak bisa dilihat sekadar dari keinginannya untuk punya anak (kandung) atau tidak. Ada yang memang memiliki trauma masa kecil dan nggak ingin hal yang sama terjadi kepada anaknya kelak, ada juga yang memang sulit bergaul dengan anak-anak.
"Tapi kalau sudah jadi ibu, kan, aura keibuannya pasti akan keluar dengan sendirinya. Itu natural, lho. Jangan takut."
Iya memang, tapi disinilah masalahnya. Kita perlu mengerti bahwa nggak semua orang bisa mengambil pilihan itu. Ada orang-orang yang memang perlu untuk mempertimbangkan banyak hal sebelum bertindak. Bukan semata-mata karena nggak percaya Tuhan-Nya, namun ia tahu bahwa Tuhan juga menyukai hamba-Nya yang nggak tergesa-gesa dan berpikir bijak sebelum memutuskan.
Bagaimana jika pasangan-pasangan childless ini ternyata banyak bersedekah dengan tangan kirinya dan memiliki anak asuh di berbagai panti atau yayasan yang tersebar di daerah tempat tinggal mereka? Bagaimana jika orang-orang yang menyuruh mereka memiliki anak justru ternyata menanggalkan banyak kewajiban yang harusnya dilakukan sebagai orangtua?
Meleknya pasangan-pasangan baru terhadap ilmu parenting, finansial, dan sebagainya yang berkaitan dengan peran orangtua adalah salah satu tanda kemajuan sekaligus bangkitnya kesadaran bahwa memang nggak semua orang bisa jadi orangtua yang baik, nggak semua orang sanggup menjadi orangtua, karena peranan ini sesungguhnya mulia dan berat sekali. Ketika ada seseorang yang sadar akan hal tersebut sehingga membantunya menentukan prinsip hidupnya, seharusnya kita hargai dan apresiasi. Mengingat banyak sekali kasus-kasus dimana terdapat ribuan anak terlantar dan dibuang oleh orangtuanya sendiri karena ketidaksanggupan mereka memenuhi kewajiban, yang mana semua itu diawali oleh kurang bijaknya suami dan istri dalam mengambil keputusan.
0 komentar