When i think about happiness, it's true that it comes from the smallest thing in our lives. But is it always true? Apakah konsep ini berlaku sepanjang kita hidup? Mungkin ya, mungkin saja tidak. Biasanya nih, anak muda zaman sekarang paling sering mengglorifikasi soal "rules of life" (even if this kind of thing exists), semacam; apakah kita bisa hidup bahagia tanpa uang?; atau apakah sebetulnya uang bisa memberi kita impian yang konyol dan kehidupan tanpa penderitaan? Lalu sering khawatir bahkan sebelum memulai garis start pertamanya.
Before we move on, i need to clarify something. Gue nggak sedang membahas tentang kebahagiaan secara general. Membicarakan soal kaitan uang dengan kebahagiaan nggak berarti gue nge-dismissing fakta bahwa rasa bahagia itu besar sekali maknanya, bahkan tanpa harus diselubungi dengan hal-hal berupa materi. Also, gue rasa kita perlu meluruskan beberapa hal di awal, bahwa frasa "money can't buy happiness" yang akan gue mention di postingan ini, nggak pernah gue maksudkan secara literal. Ini hanya konotasi, after all. If you disagree about what i writes on this topic, it's very okay. Your opinion could be different than mine, and this might sounds contradictory to my previous post which tells about finding your own happiness through the silly dreams that you might have had since you were kids, but let me explain further.
Sebagai manusia normal, rasanya kita tidak bisa mengelak bahwa hampir setiap waktu, kita perlu uang untuk memenuhi kebutuhan akan rasa aman dan nyaman dalam berkehidupan. Tidak hanya kebutuhan primer, sekunder, namun juga tersier yang seringkali perlu untuk disokong. Kita memerlukan uang untuk bayar tagihan, belanja kebutuhan seperti pangan, sandang (bahkan ketika seseorang memiliki gaya hidup minimalis), lalu untuk bayar air, bayar token listrik, kuota internet, hingga sekadar beli bensin untuk kendaraan yang digunakan sehari-hari. Semua aspek dalam hidup kita seakan-akan tidak bisa digerakan tanpa kehadiran uang, dan banyak sekali permasalahan hidup yang bisa diselesaikan dengan uang. Bahkan dalam kondisi pandemi seperti ini, perekonomian negara tidak bisa dihentikan sementara hanya untuk lockdown, karena efek jangka panjang yang ditimbulkan mungkin akan lebih buruk dari yang bisa kita kira. Mengapa? Alasan paling dasarnya semata-mata karena kita membutuhkan uang untuk hidup, terlebih dalam situasi sulit seperti saat ini. Most people do.
Kenyataan ini didukung oleh data yang dikumpulkan peneliti Universitas Princeton pada tahun 2010, bahwa rata-rata dari 450.000 orang dewasa di Amerika Serikat memiliki perasaan sedikit lebih bahagia ketika dikaitkan dengan uang atau pemasukan. Dapat dikatakan bahwa orang yang memiliki pendapatan sekitar $70.000 per tahun cenderung lebih bahagia daripada mereka yang menghasilkan sekitar $40.000 per tahun. Perbedaan yang tidak besar, namun signifikan secara statisik. Kualitas emosional ini dinilai dengan pertanyaan yang meminta mereka untuk memikirkan tentang kondisi di hari-hari sebelumnya dan menilai seberapa banyak kebahagiaan dan kenikmatan yang dialami, hingga seberapa banyak mereka tersenyum dan tertawa.
Selain itu, peneliti juga mengatakan bahwa manusia sulit untuk benar-benar bahagia jika hidup dalam kemiskinan. Jika kita selalu merasa lapar, kedinginan, dan tinggal di lingkungan yang tidak aman atau selalu berutang uang kepada seseorang, rasanya kebahagiaan bisa sulit dipahami. Contoh lain adalah ketika kita memiliki masalah kesehatan sementara tidak memiliki cukup uang untuk pergi ke dokter (tidak semua orang punya BPJS), kemungkinan besar ada dua kekhawatiran yang mesti dihadapi—kesehatan dan uang.
Di bawah tingkat pendapatan tertentu, orang miskin sebenarnya kurang bahagia dan kurang puas dengan kehidupan mereka daripada kebanyakan orang. Terlebih ketika mereka tidak menemukan adanya quantum leaps atau penghasilan yang meningkat signifikan setiap harinya, bahagia seakan hanya jadi ilusi. Mungkin, dalam kondisi seperti inilah bahagia datang dari hal yang sederhana. Tapi, apakah pada akhirnya itu cukup untuk mengenyangkan perut kita? Apakah hal itu cukup untuk membayar tagihan yang menumpuk? Tidak juga.
Baca juga: Matre: Realistis atau Materialistis?
Uang Bikin Bimbang
Yah, kita bicara fakta saat ini. Memang, manusia sudah sepatutnya banyak bersyukur dan tabah dalam menghadapi cobaan hidup yang datang silih berganti, karena pada kenyataannya tidak semua hal bisa dinilai dengan materi. Namun, sebagaimana manusia yang selalu butuh validasi, adakalanya kita selalu berusaha untuk mencari pembenaran atas hal-hal yang kita lakukan ketika belum berusaha sepenuhnya. Misalnya, seseorang yang sering mengeluh karena mendapatkan gaji kecil dan pas-pasan, sementara apa yang didapatnya itu tak lain karena usaha yang kurang maksimal. Lantas untuk meyakinkan diri bahwa ia sudah hidup lebih baik, seseorang ini hanya berlindung di balik kata "syukur" tanpa benar-benar memaknainya. Sebab ada orang yang pandai bersyukur, kemudian bekerja lebih keras di hari esok, begitu seterusnya. Namun ada juga orang yang bersyukur, tapi tidak diiringi dengan usaha yang lebih keras karena tidak tahu caranya memberi limit terhadap diri sendiri.
Terlebih untuk yang usianya masih muda dan prima, rasanya memalukan berpikir tentang "cukup" ketika kita bisa melakukan sesuatu yang lebih lagi untuk kebaikan diri sendiri maupun lingkungan sekitar, sebagai bekal di masa depan nantinya. Iya, sebagai generasi digital, gue tahu banyak anak muda yang sedang mengalami dilema semacam ini. Go for it, or give it up. Sama halnya dengan perkara menentukan passion atau main job, dan idealisme dengan realita.
Bukan Soal Privilege
Selain bisa mengurangi kegelisahan dalam hal financial, dengan uang kita juga bisa "membeli" banyak pengalaman yang tidak terlupakan. Contohnya, traveling ke berbagai daerah atau negara, menonton pertandingan bola, menyaksikan drama musikal di suatu tempat atau bahkan di Broadway, atau kalau dikerucutkan lagi, sesederhana menikmati suasana yang menenangkan di pinggir danau seberang kota. Do we only need a cent of money? Obviously, we don't. Meskipun kita tidak perlu mengeluarkan banyak uang untuk membeli pengalaman tertentu, paling tidak sejumlah uang yang lebih besar bisa membantu kita menikmati pengalaman dengan perasaan nyaman.
Uang juga memungkinkan kita untuk dapat memberikan kebahagiaan dalam bentuk lain terhadap orang-orang yang lebih membutuhkan. Jadi, tidak semata-mata selalu untuk memenuhi ego manusia akan pemenuhan kebutuhannya. Serta kita juga bisa memiliki akses dalam mempelajari hal-hal baru dengan fasilitas yang lebih mendukung. Siapa disini yang senang menggambar dan tergiur ingin membeli alat berupa procreate agar hasil gambarnya dapat lebih maksimal? Atau, adakah yang ingin bisa memiliki alat rekam khusus dengan kualitas mumpuni bagi yang sedang mengolah kemampuan suara? *Ehm, itu.. keinginan gue, sih😅.
Kebanyakan orang juga menemukan kebahagiaannya tersendiri ketika bisa memenuhi kebutuhan hidup keluarga dan membahagiakan orang-orang yang disayang secara materiil dengan jerih payahnya. At the end of the day, it's about money, isn't it?
So, apakah sebetulnya uang bisa "membeli" kebahagiaan? Yap, kalau kita bisa memanfaatkan dan mengelolanya dengan cara yang benar. Namun apakah kita harus menjadi kaya untuk bisa bahagia? Ini dia yang harus gue luruskan. Kenyataannya, kebahagiaan memang bukan bersumber dari uang. Apalagi jika semakin banyak uang di dalam tabungan kita, maka semakin banyak kita berinvestasi, dan semakin besar kerugian, serta rasa stress yang mungkin akan kita dapatkan. Mungkin ini sebabnya Jeff Bezzos tidak lagi merasa antusias ketika perusahannya mendapatkan keuntungan jutaan dollar yang berkali lipat. Walaupun hal ini tidak menutup kemungkinan bahwa orang yang memiliki gaji 400 juta per tahun tidak lebih menderita daripada orang yang hanya mampu menghasilkan uang sebesar 70 juta per tahun, begitupun seterusnya. Toh, banyak millioner yang ujung-ujungnya memilih "sengsara" dalam kekayaan daripada sengsara dalam kemiskinan.
Beberapa di bawah ini gue kutip sedikit potongan diskusi dari postingan Instagram influencer favorit gue, Fellexandro Ruby, yang kebetulan membahas topik serupa beberapa waktu lalu, agar postingan ini tidak terasa begitu saklek dan satu arah. Well, sharing is caring!
Yes, it is the phase of our life that helps us see things clearly and takes us to the next (financial) journey. |
Baca juga: Menjadi Manusia
Pada intinya, ini bukan menyinggung tentang privilege atau tidak mensyukuri rezeki yang didapat, melainkan lebih kepada menyadari realita bahwa kita bisa menikmati hal-hal yang orang ber-uang miliki tanpa harus kaya dan punya privilege, dan kita juga harus yakin untuk bisa memperoleh rezeki yang lebih jika kita tidak hanya bersyukur dan berserah, tapi berusaha sebaik-baiknya kemampuan diri.
Namun dari diskusi singkat di atas, kita juga perlu mengingatkan diri sendiri untuk tidak memetakan kebahagiaan hanya pada materi. Seperti yin dan yang, alangkah lebih baik jika semuanya dilakukan dengan seimbang, tidak berlebihan. Gapapa bekerja keras selagi kuat, but just don't push yourself so hard that you can't even enjoy your hard-earned money and the time you have. Karena gue yakin mindset kita terhadap uang juga perlu untuk direm sesekali agar tidak gelap mata.
Tulisan ini gue buat bukan untuk mengajak teman-teman menjadi money-oriented atau materialistis, gue hanya ingin mengingatkan diri sendiri dan mungkin teman-teman sebaya yang sedang mengalami quarter life crisis (atau masalah pelik soal keuangan), bahwa underprivileged bukan alasan untuk kita bertahan dalam victim mentality dan berlindung di balik kalimat "money can't buy happiness". Uang bisa "membelikan" kita beberapa hal yang membawa rasa kebahagiaan kok, ketika dilakukan dengan cara yang tepat sesuai takaran kita. Oleh sebab itu, jangan berhenti menyerah within your limit, and don't mind about other people's life—being salty about privilege, etc.
Berhenti membandingkan diri dengan orang lain, tinggalkan medsosmu untuk sementara waktu jika perlu, dan.. jangan sampai memberi afirmasi terhadap diri sendiri dengan cara yang salah yang malah bisa mengendurkan limit yang kita punya.
21 komentar
Setuju sama post Awl 😄
BalasHapusMenurut kakak, uang bisa beli kebahagiaan apabila digunakan dengan benar. Karena faktanya, segala sesuatu dalam hidup kita dari hal paling basic pun butuh uang. Mau itu sandang pangan papan, primer sekunder tersier, semua bisa didapat dengan mudah kalau ada uang ~
Thou money mungkin nggak 100% membeli kebahagiaan, tapi bakal lebih baik untuk sedih sedih di rumah yang nyaman, dikasur yang empuk, atau makan makanan enak kaaaan.
Terus dengan kita punya uang yang cukup, kita bisa bantu semakin banyak orang, bisa menjadi manfaat unguk diri kita dan orang sekitar. Uang itu suka nggak suka, punya power dalam kehidupan manusia. Jadi kalau masih dikasih kesempatan, usia masih muda, tenaga masih banyak, kerja giatlah agar bisa terkumpul uang.
Seenggaknya minimal bisa hidup cukup, ketika butuh sesuatu uangnya ada. Nggak apa-apa nggak sampai level Bill Gates hehehe. Karena yang utama adalah hidup nggak kekurangan dan sebisa mungkin nggak membuat susah sekitar. So yes, I couldn't agree more dengan post Awl. Semoga semakin banyak anak muda seusia Awl yang mau terus bekerja giat, dan sukses ke depannya 😍💕
MBA ENOOO I MISS YOUUU SO MUCHIE T_T
HapusNot rally Eno... Boleh tanya dimana adanya penjual kebahagiaan/happiness itu? Berapa harga "kebahagiaan" itu? Terus kenapa kalau uang bisa membeli kebahagiaan, banyak orang kaya tidak bisa bahagia?
HapusYah karena mereka bisa membeli barang, tetapi tidak bisa membeli kebahagiaan (karena tidak ada yang jual)
Uang adalah alat tukar dengan kata lain pemegang uang bisa menukarkannya dengan benda lain untuk memenuhi kebutuhan, pemuasan ego, dan seterusnya. Namun, itu tidak berarti ia membeli kebahagiaan.
Kalau benda yang dibeli memuaskan, orang tersebut akan senang bahagia, tetapi kalau tidak ia akan kecewa. Haruskan dikatakan juga uang tidak bisa membeli kekecewaan.
Kenyataannya, pandangan money can buy happiness, ya bener banget karena rasa bahagia itu tidak ada yang jual. Mau punya uang seberapa banyak pun, ia tidak akan bisa membeli.
Seseorang bisa senang karena punya banyak uang, tetapi apakah berarti ia "membeli" kebahagiaan dengan uangnya? Ya tidak juga. Yang dia bisa beli dengan uang itu adalah benda, bukan kebahagiaannya.
Tolong kasih tahu saya kalau sudah ada produk "kebahagiaan". Berapa harga per kilo nya? Siapa penjualnya?
Coba lihat lebih dalam lagi Eno.. Jangan hanya kulit yang dilihat. Coba lihat lebih jauh ke dalam lagi.. Banyak hal yang seringkali tidak terlihat....
mbak enoooooooo miss youuuuuu :D
HapusWell said semuanya Mba Awl. Aku setuju plek plek semua yg ditulis. Uang memang ga bisa membeli kebahagiaan, tp ttp aja nangis di kasur empuk rumah nyaman lbh enak dr pd nangis di pinggir jalan sambil keujanan. huhu..
HapusDan aku ke sini cuma buat ikut nyapa mba eno. Mba Enoooooo apa kabaaarr??
Masa muda yg powerfull ini harusnya dimanfaatin banget ya demi cuan dan kebahagiaan di masa depan.😅😔
BalasHapus"Uang bukan segalanya, tapi segalanya butuh uang"🤑💸💵💴💶💰💳
Nice post, Awl!!
BalasHapusI Couldn't agree more sama yang Awl dan Mba Eno jabarkan.
Hidup memang butuh uang. Hipokrit kalau Aku bilang "money cant buy happiness"..
Ya setidaknya dengan adanya uang yang cukup, hidup kita bisa jadi lebih tenang, damai dan tentram. Jadi pusingnya bisa dipakai untuk cari duit, dan beritirahat di kasur yang empuk dan rumah yg nyaman 😂.
Sukses dan sehat selalu untuk Awl 😊
Hihihi... coba dari sisi pandang lain Bay.. Memang ada penjual "happiness" atau "kebahagiaan". Happiness tidak bisa dibeli karena pada dasarnya tidak ada yang jual.
HapusApakah setelah Bayu membeli sesuatu sudah pasti bahagia, tidak juga? Karena memang pada dasarnya Bayu bukan membeli "kebahagiaan", kebahagiaan tidak ada yang jual..
Yang bisa dibeli uang adalah benda, untuk memenuhi kebutuhan atau pemuasan ego saja. Ego dan kebutuhan yang terpenuhi biasanya mendatangkan rasa senang dan bahagia, tetapi hal itu tidak berarti uang bisa membeli kebahagiaan.
Coba telaah lagi ketika perdagangan masih dilakukan dengan barter,tanpa uang, apakah masyarakat di masa itu tidak bahagia karena tidak bisa membeli "happiness/kebahagiaan"? Tidak juga karena selama kebutuhan mereka terpenuhi, maka mereka merasa senang dan bahagia, meski tidak ada uang.
Di masa sekarang karena segala sesuatu harus dibeli, maka dipandang uang bisa membeli kebahagiaan kenyataannya secara riil, tidak ada jual beli kebahagiaan. Uang hanyalah satu alat bagi manusia memenuhi kebutuhan hidupnya (termasuk pemuasan ego), tapi pada dasarnya ia bukan membeli kebahagiaan.
Boleh saya sarankan jangan langsung serta merta menjudge seseorang hipokrit karena seringnya terkadang kita yang terkungkung oleh kecetekan dan kebodohan diri sendir, serta ketidakmampuan untuk berpikir dalam.
Katak dalam tempurung akan merasa dia sudah melihat dunia, padahal yang dilihatnya sebenarnya adalah tempurung dan bukan dunia..
:-D :-D :-D
Yeeeyyy ada Pak Anton.. hahha 😁🤣 Apa Kabar Pak?
HapusAbis mandi pagi ni Pak, sambil makan terus mampir sini.. ehh ada yg bikin ketrigger buat diskusi 😊.
Yuk Pak Diskusi.. 😁 Awl numpang diskusi ya.
Hhmmm, 🤔 "money cant buy happiness.." setuju?? Ya, aku setuju Pak. Tapi nggak terlalu. Hehe 😁. Karena faktanya "It can buy Us a few things that ultimately lead us to happiness"
Uang itu hmm gimana ya..
Berdasarkan pengalaman hidup aku selama kurang lebih 25 tahun. (Ahaha 🤣). Uang memang masih jadi salah satu hot topic yg jujur masih aku debatin dalam sepanjang "Perjalanan Keuangan Seorang Bayu" Pak Anton 😀.
Smpe skrang Finansial Freedom adalah tujuannya. Ehh nggak juga si. Yg penting "cukup" dulu. I mean, bisa beli sesuatu sewaktu dibutuhkan.
Ya, aku berpikir kalau meskipun Uang memang tidak 100 persen membeli kita kebahagiaan.. setidaknya dengan adanya mereka kita bisa dengan mudah mendapatkan ;
1.Experiences like Food, Art, Culture around the world
2. Kesempatan... kesempatan membantu sekitar semisalnya, give them some food or extra Clothes.. atau kesempatan mengikuti pelatihan dan pengembangan diri yg disuka.
3. Peace Of Mind.. (ini yg paling stuck dalam otak si Pak. Yg paling membekas 😄) sedikit cerita. Bapakku dulu, orang yg pernah di PHK saat Bayu berumur 12 tahun. Umur segitu aku belum terlalu mengerti soal uang. Tapi setelah melihat bapak yang kepusingan setengah mati setiap malam bersama Ibu di tengah2 obrolannya. Bikin aku melek soal uang. (Yess, aku pernah mergokin mereka di tengah2 suatu pembicaraan malam ttg keadaan yg sungguh diluar kendali mereka. Dan itu bertahan hingga 2,5 tahun lamanya. Sedangkan di posisi itu, Uang lagi dibutuhkan karena aku mau masuk SMP dan Mba saat itu mau masuk Kuliah. Meskipun agak menyedihkan, sbnernya beruntung aku punya pengalaman seperti itu. Karena Menabung alhamdulillah menjadi kebiasaan.
Uang memang tidak bisa membeli kita kebahagiaan..... Tapi dalam hidup setidaknya kita mendambakan sebuah kehidupan yang nyaman, tentram dan berkecukupan.
Nah disini Bayu berpikir penting rasanya untuk "Draw The Line" so we can control Our money and desire..
Begitu si Pak Anton aku mikirnya.. eheheh 😊
aku setujubanget sama tulisan ini
BalasHapusdulu, aku juga ikutan percaya kalo money can't buy happiness. tapi, makin ke sini kita pun makin realistis aja. dan nyatanya dengan semahkin banyak jumlah uang yang kita punya, kita bakal lebih mudah membahagiakan orang sekitar.
ah, nggak perlu jauh-jauh bantu orang. misal untuk diri sendiri aja
kalau kita punya uang lebih, kita bakalan punya akses ke aspek mana pun dengan lebih mudah. kesehatan terjaga. kalo sakit langsung berobat bahkan ke dokter terbaik, makanan sehat, pikiran tenang karena nggak gelisah mikirin gimana caranya uang sekian kudu cukup. ah, merembetnya bisa ke mana-mana deh Awl 🙂
Well, couldn’t agree more!
BalasHapusAku jadi keinget sama podcast TDOL, waktu itu ngebahas hal yang sama kayak kamu. Money can buy happiness.
Aku dengerin dengan seksama dan mencoba memahami bagaimana bisa uang membuat kita bahagia, karena selama ini jargon yang terkenal adalah money can’t buy happiness.
Ternyata seperti yang kamu utarakan, uang itu jadi jembatan, jadi penghubung kita untuk meraih apa yang kita mau. Dan yes, aku juga merasakan itu. Ketika aku ngatur duit dengan baik, kebutuhan pokok terpenuhi, rasanya hati lebih tenang. Itu baru dari segi pemenuhan kebutuhan pokok. Gimana dengan kebutuhan lain yang notabene akan menjadi pintu akses kita menuju privilese? Contoh, pendidikan. You know, tanpa pendidikan ya kita bakal stuck gitu-gitu aja. Sedangkan untuk memperolehnya, uang ikut berperan untuk memperlancar tujuan kita.
Tapi di satu sisi, kudu seimbang. Aku ngerasain banget pas terlalu fokus sama duit dan duit. Padahal memang ada hal-hal lain yang duit g bisa tebus. Kesehatan di masa pandemi adalah barang mahal, yang orang g bisa beli pake apapun. Jadi ketika down masalah keuangan, selalu aku ingat-ingat lagi. Aku, Hyung, dan keluarga kami di rumah alhamdulillah sehat, g kekurangan apapun. It’s ok sambat, asal abis itu bangkit lagi, karena life must goes on
Aku pernah baca di sebuah blog, (banyak) uang itu memungkinkan kita untuk punya lebih banyak pilihan hidup. Seperti yang kamu bilang di atas, di saat kita punya jumlah uang tertentu, pilihan kita mungkin terbatas di A,B dan C. Tapi kalau kita punya uang yang lebih banyak, tentu pilihan kita juga meluas. Aku bagi pengalaman pribadi aja yaa. Dulu waktu mau kuliah, aku ngotot ingin kuliah di univ A. Realitanya orangtuaku nggak punya uang cukup untuk aku memilih pilihan itu. Pilihan yang ada cuma satu, beasiswa. Dan tentu aja itu bukan suatu yang salah. Karena tujuanku waktu itu cuma satu: bisa kuliah. Nggak berapa waktu yang lalu, aku nemu tweet di mana seseorang keterima kuliah di Stanford dengan scholarship. Tapi karena dia nggak punya uang cukup untuk biaya hidup di sana, ya terpaksa dia tolak. Orang bilang dia bodoh melepas kesempatan emas, menurutku akan lebih bodoh kalau dia ngotot ke sana tapi harus hidup terseok-seok. Ujung-ujungnya belum tentu bahagia meski judulnya "kuliah di univ bergengsi".
BalasHapusDuh, panjang banget komentarku wkwkwk tapi semoga dapet ya intinya hihi as always, pemikiran kamu cakep banget, Awl! <3
Everyone needs money...who doesn’t??? Gak bisa dipungkiri semua orang yg hidup membutuhkan uang untuk melanjutkan hidup.. tapi emang gak selalu uang yg bikin kita bahagia, walau bagaimana pun uang juga hadir atas usaha kita yg bekerja bagai kuda, sampai gak ingat waktu Wkwkwkk. Kayaknya boleh juga mulai menanam pemikiran “hidup secukupnya” biar tetap waras #halah. Tulisanmu selalu menarik Awl...aku senang bisa mengenal blog Justawl dan juga Awl sendiri 😁👍🏻
BalasHapusKalau katanya money can't buy happiness, uang bukan segalanya, tapi segalanya butuh uang 😂
BalasHapusSatu hal yang selalu aku ingat dari nasihat yang aku terima, bahwa kita harus berusaha sekeras mungkin agar kita bisa punya cukup uang agar kita bisa hidup layak dan nggak diremehin orang 😅 nggak harus kaya raya banget, bagus kalau bisa, tapi setidaknya dengan hidup serba berkecukupan maka hidup bisa jadi lebih bahagia karena yes money can buy happiness, dan nggak ada uang pasti pusing 7 keliling 😂
Masa sih... Segalanya butuh uang? Kalau sakit perut, kemudian "pemenuhan" kebutuhannya nunggu uang dulu?
HapusThink deeper.
Juga, pada masyarakat suku pedalaman yang terasing (dan mayoritas dari mereka tidak kenal uang), apakah berarti mereka tidak bisa dan tidak pernah bahagia?
Think deeper Peri..
Hanya karena kita berada dalam masyarakat yang menggunakan uang, tidak berarti kebahagiaan hanya bisa ada karena uang. Banyak masyarakat, sejak jaman dulu dan sekarang yang bisa berbahagia meski tidak mengenal uang..
Think deeper...
Jadi inget pernah nemu ada yang bilang gini di Twitter "money cant buy happines, tapi money bisa beli tiket konser, dan nonton konser brings happiness. So many can buy happiness" Ahahahaa
BalasHapusNice writing Awl! Dengan kita punya uang, seenggaknya kita bisa menjamin hidup kita bisa lebih nyaman daripada kalau kita ga punya uang.. Walaupun ga jadi orang kaya raya, seenggaknya bisa hidup berkecukupan yaa
Ahh ketauan.. Awl masih muda banget.. wkwkwkwk
BalasHapusPernah berkemah Awl, di tempat dimana tidak ada penjual apapun dan cuma bisa makan yang ada di hutan. Cobalah sesekali keluar rumah dan pergi ke suatu tempat dimana tidak ada penjual apapun.
Kemudian lapar atau haus dan menemukan buah buahan atau air yang bisa diminum...Tahu rasanya setelah makan dan minum buah yang tidak dibeli tadi? Senang bahagia
Kenapa? Karena terjadi pemenuhan kebutuhan atau pemuasan (termasuk egp). Manusia biasanya bahagia bila keinginannya atau kebutuhannya terpenuhi, baik dengan atau tanpa uang.
Terlalu sempit mengatakan bahwa untuk bahagia perlu uang? Hal itu berarti menafikan sejarah bahwa di masa perdagangan belum memakai uang, maka berarti orang-orangnya tidak bahagia? Yah, sempit sekali pengetahuan dan pikirannya kalau mengatakan demikian.
Kenyataannya, uang adalah alat tukar, untuk mempermudah manusia dalam melakukan perdagangan saja. Bukan dibuat untuk alat pembeli kebahagiaan.
Dengan uang, manusia bisa membeli barang untuk memenuhi kebutuhannya dan memuaskan egonya. Itu saja tok...
Kenapa disebut pikiran sempit, karena Awl mendasarkan asumsi Awl pada diri sendiri saja. Awl mengesampingkan kenyataan di dunia bahwa dulu dan sekarang masih ada masyarakat yang hidup tanpa uang. Dengan tulisan Awl di atas, Awl mengatakan bahwa manusia-manusia seperti suku Baduy dan suku pedalaman adalah manusia-manusia yang tidak tahu arti bahagia..==> karena banyak dari mereka yang tidak mengenal uang..
Peneliti Princeton tentu tidak mensurvey suku suku pedalaman yang tidak kenal uang. Lalu haruskah digeneralisasi..? Cara menyikapi penelitian tidak bisa gebyah uyah. Penelitian di satu lokasi, tidak berarti bisa dipergunakan untuk semua orang.
Think deeper Awl... Much deeper . Jangan hanya terpaku pada kulitnya. Jangan terfokus hanya pada diri sendiri. Kamu pintar dan seharusnya bisa berpikir lebih luas dan bukan mempersempit wawasan hanya tentang diri sendiri.
Terakhir, seperti yang saya katakan pada Eno dan Bayu, hanya diubah sedikit saja pertanyaannya.. Kalau Awl punya pacar, dan merasa bahagia bisa bersama dengan pacarmu, apakah itu karena Awl punya uang? Apakah Awl membeli kebahagiaan itu?
Jangan-jangan Awl membeli pacar Awl yah... ? :-D :-D
Oleh karena itu saya tetap menyampaikan di paragraf terakhir/sebelumnya, bahwa kebahagiaan tidak bersumber dari uang, karena memang tidak seperti itu. Saya sendiri datang dari tempat dimana masih banyak sekali orang yang bisa hidup tanpa harus money-oriented, melainkan apa adanya dan tetap bahagia. Saya bukan anak metropolitan atau hidup penuh dengan uang sampai mata saya hanya tertuju kesana. Apa yang Bapak jabarkan perihal "kebahagiaan" secara umum sebetulnya sudah sering saya gambarkan di beberapa cerita blog saya, salah satunya ada di postingan sebelumnya. Bahwa kebahagiaan saya selama ini juga datang dari hal-hal yang sederhana. Katakanlah saya sedang membahas ini dari segi ekonomisnya, tidak berarti saya menampik aspek yang lain.
HapusPemikiran saya saat ini adalah salah satu bentuk ikhtiar untuk memulai fase hidup yang baru sebagai tulang punggung. Apakah saya memetakan kebahagiaan hanya pada uang? Tidak juga. Lagipula, uang tidak selalu digunakan sebagai alat tukar, tapi bisa dimanfaatkan untuk hal-hal yang lebih "deep" lagi, seperti bersedekah atau membelikan baju baru untuk orangtua. Uang tidak "membeli" kebahagiaan, memang betul pak, tapi secara realistis ada banyak perasaan bahagia yang bisa muncul salah satunya karena materi (seperti contoh di atas). Banyak juga orang yang bersedekah hanya ingin agar hatinya lebih tenang, atau simply ingin melihat orang yang diberi bahagia. Pada akhirnya, dalam hal ini uang bisa memunculkan kebahagiaan bagi orang yang sedang membutuhkan, vice versa—orang yang memberipun akan merasa bahagia karena hartanya bermanfaat untuk orang lain. Bersedekah tidak mesti dengan uang, tapi kita juga tidak bisa mengelak bahwa ia adalah salah satunya yang bisa jadi alat berbagi.
Postingan ini sendiri saya tulis sebagai motivasi/pecutan untuk saya pribadi dan mungkin teman-teman di luar sana. Mulanya berangkat dari cerita-cerita pengalaman teman sepermainan yang sedang mengarungi fenomena quarter life crisis dan gelisah dengan komparasi diri di media sosial (mungkin terkesan berlebihan, tapi memang seperti inilah pak realitanya bagi anak-anak muda yang masa peralihannya penuh ekspose media sosial)🙈. Beberapa workshop dan mentorship tentang karir yang saya ikuti juga membahas soal self-assessment yang bertujuan agar kita mampu memberi kontrol terhadap diri sendiri tanpa ter-distract dengan media sosial yang seolah semakin lama semakin jadi kebutuhan.
Sebetulnya, mungkin saja saya dan Pak Anton ada di sebuah benang yang sama, hanya saja karena titik kita saat ini berbeda, maka Bapak bisa melihat semuanya dengan lebih grounded dan netral. Saya bukannya mau egois, tapi memang harus diakui masa muda seperti ini saya masih punya bias yang cenderung ingin selalu realistis, dan ingin memaksimalkan usaha yang saya punya sampai limit-nya untuk bisa earn some money bagi keluarga dan diri sendiri—dan kalau bisa juga untuk orang-orang yang membutuhkan.
Omong-omong saya dulu SMA sering berkemah Bapaak (duh jadi kangen masa² ini) hihi terakhir camping waktu masih kuliah tahun 2018, apalagi waktu SMA anak Antropologi banget kayaknya (sekarang mah udah luntur ingatannya, maluuu hahaha), saya pernah studi etnografi ke Baduy luar dan dalam juga. Justru saya selalu senang kalau pergi ke area pegunungan dan Alhamdulillah bisa datang ke tempat-tempat seperti itu, karena mereka juga bisa jadi tempat saya kembali "membumi" lah ibaratnya kalau lagi mumet hehe🙈. Sayangnya pemikiran dalam satu artikel ini tidak bisa men-define journey dan thought process saya. Mungkin karena sekarang saya hidup di situasi yang mengharuskan untuk bisa survive financially, maka (sekali lagi) bias itu ada.
Akhir kata, mohon maaf saya tidak bermaksud mengungguli Pak Anton atau berusaha terlihat lebih pintar ketika menjawab ini. Saya hanya berusaha menyampaikan sudut pandang saya. Judul artikel di atas sepertinya agak offended yaa pak😂, saya sengaja buat seperti itu karena biar singkat, padat, menarik dan nggak kepanjangan juga.
Mantau komenannya pak Anton dari atas wkwk. Aku paham si maksudnya gimana, apalagi contohnya tentang kemping di pedalaman itu.
BalasHapusDulu pernah pergi ke kampung sahabatku, which is di kaki gunung, nggak ada pasar besar, nggak ada signal dan masyarakatnya masih mandi di kali. I found something new there, pertanyaannya apakah aku bahagia? Ya, aku bahagia walau nggak ada signal, nggak ada lampu jalan, kalau malam nggak ada lagi orang, semua rumah pada udah tutup.
Tapi aku juga pernah berada diposisi Awl, which is lagi quarter life crisis dan mikir andai punya uang lebih, kayaknya nggak bakal ngerasa gini deh. Then now i feel like ada dan nggak ada uang rasanya fifty-fifty, karena sekarang aku sama kayak Awl, sering mempertanyakan apa yang buat aku benar-benar bahagia.
I feel you Awl dan kakak rasa wajar mikir kayak gini, karena pasti ada fase kita sering nanya ini itu ke diri sendiri dan membuat kita tidur lebih larut dari biasanya. Benar-benar pernah merasa kayak gini juga, walau nggak sama persis. Your not alone Awl, you have me, hehehe.
nggak dipungkiri kalau uang memang alat manusia untuk memenuhi kebutuhan primer, sekundernya
BalasHapuscuman kalau gini, aku balik lagi ke sodara sodara yang aku liat kayak nenek atau kakek sampe harus jalan kaki puluhan kilo jualan ubi misalnya, terus dapat untung 5ribu untuk sehari hari, aku sedihh, aku ga kuat kalau begini
mereka nggak punya uang berlebih tapi bisa kerja tanpa minta minta, masih bisa makan seadanya udah merasa bahagia
dan uang juga bisa bikin celaka atau merusak pertemanan. contohnya aku aja pernah menjarain temen yang udah aku anggap lebih dari itu, gara gara dia mencuri CC ku dan memanfaatkannya. ini bener bener kriminal
I do agree. Isoman dengan uang akan jauh lebih baik daripada sebaliknya. That was me several days ago. Hehehehe..... Kadang memang perlu sekali melakukan otokritik pada apapun, termasuk frasa yang mengglorifikasi kebahagiaan tanpa uang ini contohnya. Aku juga barusan buat post tentang privilese sich, meski mungkin dari sudut pandang yang berbeda. Thanks for sharing.
BalasHapus