Akhir-akhir ini gue sering menemukan kata normalisasi dilontarkan
oleh orang-orang di linimasa twitter—lagi-lagi twitter. Entahlah, platform yang
satu ini kayaknya sering banget memunculkan banyak diskusi-diskusi yang gak
jarang menimbulkan “war” antar sesama pengguna. Sebagian karena merasa
pendapatnya benar, sebagian karena merasa tidak ingin terlihat bodoh dan kalah.
Contoh dari bahasan soal normalisasi ini adalah, pernikahan tanpa resepsi,
normalisasi menikah saat sudah siap atau di luar dari usia yang selama ini
dijadikan standard oleh masyarakat, normalisasi pakaian wanita bukan sebagai
simbol sex supaya bisa meng-counter narasi yang menyalahkan pakaian sebagai
sebab pemerkosaan, normalisasi mengejar karir di usia 25, sampai dukungan untuk
menormalisasi pernikahan sesama jenis.
Dalam KBBI, normalisasi sendiri berarti tindakan menjadikan normal
(biasa) kembali; tindakan mengembalikan pada keadaan, hubungan dan sebagainya
yang biasa atau yang normal. Well, technically, normalisasi adalah kegiatan
menormalkan sesuatu yang sebelumnya sudah normal, namun karena berbagai alasan,
menjadi rusak dan harus dikembalikan kondisinya.
Sementara normal sendiri memiliki arti: menurut aturan atau menurut pola yang umum; sesuai dan
tidak menyimpang dari suatu norma atau kaidah; sesuai dengan keadaan yang
biasa; tanpa cacat; tidak ada kelainan: bayi
itu lahir dalam keadaan normal.
Gue tahu, pada praktiknya normal hanyalah sebuah kata yang dibangun oleh masyarakat itu sendiri berdasarkan kebiasaan-kebiasaan yang berlaku, yang beberapa bisa saja tidak sesuai dengan norma dan aturan. Normal adalah sesuatu yang hanya bisa dibuat jika terlihat di permukaan. Gue pribadi pun setuju dengan beberapa narasi yang digaungkan, since we live in toxic society that is always trying to control our lives which shouldn’t be their concern whatsoever. Tetapi yang membuat ini tampak lucu adalah, gak sedikit orang-orang yang ikut-ikutan mendukung berbagai normalisasi hanya karena merasa segala apapun yang berlaku di masyarakat sekarang ini adalah sucks. Sehingga tagar-tagar yang berseliweran itu kebanyakan didukung oleh opini yang kurang jelas dan argumentasi yang hanya mengandalkan arogansi, serta egoisme yang dilindungi dengan ketidaktahuan, karena orang-orang tampaknya tidak terlalu paham apa saja aturan-aturan atau stereotip yang tanpa alasan dinormalisasi oleh masyarakat sejak lampau, dan mana saja yang memang sudah normalnya begitu, namun dipaksakan untuk normal agar sejalan dengan egoisme.
Cuitan tentang beberapa contoh normalisasi di atas adalah sesuatu
yang sangat gue dukung, karena sepertinya segala macam pressure bahwa kita
harus menikah di usia sekian, sukses sebelum berusia 40 tahun, harus punya anak
saat sudah menikah, perempuan gak boleh bekerja saat sudah menikah, adalah
aturan-aturan yang memang dibuat sendiri oleh masyarakat karena orang-orang
terbiasa untuk melakukannya. Padahal persoalan semacam ini gak bisa kita
generalisasikan. Di negara-negara maju, Jepang contohnya, nggak ada tuh
sekarang para orangtua yang memaksa anak mereka untuk menikah sebelum usianya
mencapai 30 tahun (mungkin ada, tapi kasusnya sangat jarang), bahkan pasangan
yang memiliki anak pun persentasenya sangat sedikit dibandingkan mereka yang
tetap mengejar karir dan hidup berdua saja. It means, normal yang satu ini
memang diberlakukan tergantung dari kebiasaan si masyarakatnya, tidak terpaku
pada aturan atau norma tertentu. Tapi memang gak menutup kemungkinan banyak
juga orang-orang yang bersikap demikian karena adanya anjuran bahwa anak
perempuan harus berdiam diri di rumah demi menghindari hal-hal yang tidak
diinginkan di luar sana. Walaupun begitu, anjuran ini seharusnya gak menjadi
pengekang untuk seseorang berkarir dan melakukan pekerjaan di luar rumah,
karena toh ada juga ayat lain yang menjelaskan untuk kita mengejar pendidikan
setinggi-tingginya, baik laki-laki maupun perempuan.
Namun yang menjadi concern gue soal normalisasi ini adalah,
gerakan mendukung pernikahan sesama jenis, which in my honest opinion, di
Indonesia sendiri memang bukan sesuatu yang bisa dikatakan normal, baik secara
norma sosial, agama, dan hukum negara mengenai Undang-Undang Perkawinan.
Tadi katanya normal itu hanya sebuah kata dan kondisi yang
dibuat-buat oleh masyarakat umum, aturan-aturan yang berlaku dalam hukum mestinya
bisa diubah dong?
Terlalu kolot, konservatif.
Yaa nggak begitu juga. Gak semua hal yang sudah dibuat dari
beberapa puluh tahun lalu, bahkan ratusan tahun lalu, bisa kita ubah
mentah-mentah hanya karena mengikuti zaman. Memangnya kita mau mengikuti arus
zaman yang jelas-jelas makin keras dan menyimpang? Apa orang-orang zaman dulu
sebodoh itu sampai apa-apa yang diciptakan dari dulu disebut kolot dan gak
sejalan? Bagaimana tentang agama yang memang sudah ada dari zaman dulu kala?
Gak bisa dipakai juga untuk kehidupan sekarang?
Undang-undang, norma sosial, agama, regulasi, pokoknya segala
aturan yang dibuat perihal perkawinan ini tidak bisa disamakan dengan stereotip
yang beredar tentang karir, pilihan untuk memiliki anak atau tidak, dll, karena
dibuat dengan proses yang matang dan gak main-main. Sementara aturan bahwa kita
harus menikah muda, harus lulus kuliah umur sekian sekian, dan sebagainya,
adalah sesuatu yang memang berasal dari stereotip masyarakat, yang lama-lama
dijadikan normal.
So, lo accusing penyintas LGBTQ sebagai orang yang nggak normal,
begitu?
Merujuk pada pengertian di atas, dan melihat kondisi di Indonesia
yang sebagian besar heterogen, gue bisa bilang begitu. Dari sisi biologis pun,
baik manusia maupun binatang, alamiahnya dipasangkan sebagai laki-laki dan
perempuan, betina dan jantan, yang dapat menghasilkan keturunan dan generasi
baru. Meski pada akhirnya ada berbagai dinamika yang terjadi dalam proses
evolusi, seperti yang kita lihat sekarang. Oleh karena itu ditemukanlah
orang-orang yang—baik secara alami atau tidak—memiliki orientasi seksual
berbeda dengan identitas gendernya, yang kemudian dikelompokan menjadi
heteroseksual, homoseksual, biseksual, dan aseksual. Beberapa asosiasi ilmuwan,
seperti American Academy of Pediatrics (AAP) dan American Psychological
Association (APA) pun berpendapat, bahwa orientasi seksual merupakan kombinasi
kompleks yang melibatkan banyak faktor. Beberapa di antaranya adalah faktor
biologis, psikologis, dan lingkungan.
Baca juga: How I See Feminist as a Muslim
BUT, gue nggak semata-mata menjadi homophobic dengan bilang seperti itu. Setiap orang tentu punya pendapatnya sendiri tentang hal ini. Terserah mau mengambil kesimpulan dari mana, logika, agama, atau science. Gue sendiri berusaha untuk berpikir lebih bijak dan mencampurkan ketiganya, bahwa kita juga perlu yang namanya batasan. Tapi dari batasan-batasan itu bisa kita pilih yang mana yang memang berdasar dan yang mana yang tidak. Gue hanya khawatir kalau kita sembarangan menggunakan kata normalisasi, hingga kemudian orang-orang benar menormalkan sesuatu hanya karena ramai diperbincangkan, nilai-nilai moral, budaya dan agama pun akan luntur secara perlahan.
Gimana sama masa depan cucu dan cicit-cicit kita jika
hal yang dinormalisasi adalah semacam ini? Ngeri gak sih ngebayangin kalau
nanti ada banyak anak yang lahir tanpa tahu siapa ayah dan ibu kandungnya
karena dia diadopsi oleh pasangan-pasangan non-hetero, kemudian terbiasa dengan
kondisi seperti itu dan membenarkan apa yang dia lihat. Yaah, walaupun kenyataannya
banyak juga anak-anak dari pasangan berbeda jenis yang menderita dan tidak
tumbuh dengan baik karena treatment dan didikan yang salah dalam keluarga. I
just can't imagine what's worse than all of this.
Again, it's all just my opinion. Gak semua orang harus sependapat
dengan gue, toh seperti yang gue bilang di postingan ini, gue sama sekali nggak bermaksud
mendiskriminasi orang-orang di komunitas LGBTQ, masalah perbedaan konsep dan
sudut pandang adalah sesuatu yang natural sebagai manusia. I know this may be
very difficult for them to be different from the people they used to be, and
they may have been struggling a lot to be accepted in their circle. Sepertinya
gue gak akan bosan untuk mengatakan ini, we can disagree their concept to be
the way they are and to live the life they want, but it doesn't mean we can't
respect each other to be the better version of ourselves.
Sejujurnya gue sangat menyayangkan orang-orang di media sosial
yang menuduh seseorang homophobic hanya karena berseberangan dengan perspektif
mereka soal ini. Dalam kasus berpakaian pun, ada juga cerita menarik yang gue
temuin di twitter kemarin. Jadi, ada seorang cewek yang diperkosa di salah satu
hotel setelah diajak minum-minum sama dua laki-laki—salah satunya si pelaku,
yang sebetulnya gue gak tau motif mereka minum-minum di hotel itu apa. Kemudian
orang-orang meributkan soal laki-lakinya yang gak bisa menahan diri dan menjaga
pandangan, terus membela si perempuan yang jelas menjadi korban pemerkosaan.
Ada juga yang menyalahkan si korban karena dia yang udah mabok dan mau aja
diajak ke hotel sama cowok—walaupun cuma ngobrol dan gak pesen room misalnya.
Dari perdebatan itu juga muncul narasi untuk jangan menyalahkan pakaian korban
pemerkosaan, kalau memang cowonya yang nafsu ya dia yang salah.
Honestly, gue melihat dua-duanya gak ada yang benar, sih. Kalau
gue pribadi, minum sama cowok di restoran hotel dan ceweknya cuma gue sendiri
aja udah kelihatan gak beres. But yash, gak lantas gue juga membela si cowok
lah. Rapist gak pernah bisa dibenarkan apapun alasannya, tapi kita sebagai
warga negara khususnya masyarakat beragama pun tahu bahwa alkohol bukan sesuatu
yang diperbolehkan. Apalagi berurusan sama hotel-hotelan, serem sih gue
ngebayanginnya. Yah, gak ada habisnya memang kalau ngomongin soal
kelakuan-kelakuan pengguna medsos zaman sekarang yang meng-counter argumen
orang lain untuk jangan bawa-bawa agama, dll. Padahal negara dan agama itu dua
variabel yang terkait, karena kita tinggal di sebuah negara yang berpancasila,
punya batasan dan bukan liberal—seharusnya.
Intinya, semua orang berhak melakukan apa yang dia suka, apa yang
dia mau dengan responsibility yang dipegang masing-masing. Tapi, please jangan
memaksakan sesuatu yang berada di luar batas daripada yang kita yakini selama
ini. Kalau lo merasa nggak nyaman dengan suatu aturan dan berharap society
menerima hal yang menurut lo nyaman, jalannya gak serta merta harus
dinormalisasi. Ada proses yang panjang di dalamnya. Kita juga perlu memikirkan
dampak jangka panjang, apakah yang kita suarakan itu memberi pengaruh positif
untuk keberlangsungan masa depan, atau justru meninggalkan kesan buruk.
Mending lo menormalisasi got atau gorong-gorong yang banyak sampah
dan kotor lah misalnya, menjadi saluran irigasi yang diisi banyak ikan koi dan
ramah lingkungan kayak di Jepang. That would be great! Kira-kira ada ide-ide
lain?