Papuan Lives Matter Too
Istilah privilege lagi hangat-hangatnya diperbincangkan di Twitter, bersamaan dengan kasus George Floyd di US dan gerakan #BlackLivesMatter yang sekarang digalakan hampir di setiap negara. Menurut gue, dua-duanya sama berkaitan, dan bahkan terjadi hampir di seluruh belahan dunia. Oleh karena itu, let's talk about this for a few minutes.
Gerakan Black Lives Matter yang diawali dengan kasus rasialisme yang menimpa George Floyd di Amerika seakan menyulut kebungkaman orang-orang yang bernasib sama; korban colorism dan racism. Sekaligus menampakan betapa brutalnya aksi aparat kalau menyangkut dengan warna kulit suatu kelompok, begitupun dengan Indonesia.
Sebelum itu, gue mau kasih tahu dulu apa bedanya rasisme, rasialisme, dan colorisme. Menurut , rasisme merupakan peristiwa, situasi yang menilai berbagai tindakan, dan nilai dalam suatu kelompok berdasar perspektif kulturalnya yang memandang semua masyarakat lain di luar diri mereka itu salah dan tidak dapat diterima. Sementara rasialisme berarti keyakinan akan keberadaan dan signifikansi perbedaan rasial, tetapi belum tentu ada hierarki antara ras. Rasialis biasanya menolak klaim superioritas rasial. A racialist, however, may simply prefer to date people within his or her own race because they believe other races will be incompatible. Sederhananya, rasisme adalah tindakan atau akibat dari rasialisme yang merupakan doktrin dan telah ada sebelum istilah rasisme itu sendiri muncul. Namun sebenarnya untuk persoalan rasisme dan rasialisme sendiri terdapat beberapa perbedaan pemahaman, ada yang mengatakan bahwa rasisme adalah sebuah ideologi atau pemahaman yang mendasari rasialisme, ada juga yang mengatakan bahwa rasialisme itu sinonim dari rasisme. However, i prefer the first one, dan menurut gue, keduanya sama-sama berbahaya karena bisa menjadi manifestasi dari diskriminasi yang terjadi di sekitar kita. Salah satunya diskriminasi berdasarkan warna kulit; colorism. An author and activist Alice Walker defined colorism as “prejudicial or preferential treatment of same-race people based solely on their color”. She is the person most often credited with first using the word colorism, out loud and in print.
Kemarin gue baru aja lihat artikel yang berisi tentang respon pemerintah bahwa isu rasisme yang sekarang lagi memanas di AS gak perlu dikait-kaitkan dengan masalah Papua karena sama sekali gak ada kaitannya. Gue agak terperangah, karena berani sekali beliau ini bersikap denial dengan isu tersebut.
We didn't mention that everything happens in Papua caused only by racism, but this issue is actually happening for over decades even oppressed the Papuans intentional or unintentionally. Gue tahu permasalahan di Papua bukan hanya didasari oleh rasialisme, pertumbuhan ekonomi yang lamban, pembangunan yang tidak merata, etc, tapi kita gak bisa mengelak bahwa permasalahan soal rasisme itu hidup di dalamnya. Ruang rasisme bisa tumbuh hampir di setiap negara, apalagi di Indonesia yang terdiri dari berbagai macam suku, bahasa, budaya dan adat istiadat. Dari sekian ratus juta orang di negara ini nggak mungkin semua hidup aman damai tanpa sepotong pemikiran merasa superior to other race. Gue kasih tau aja ya, di lingkungan gue tinggal seringkali beberapa orang rasis terhadap orang Batak (yang merupakan ras proto-melayu) karena karakternya yang dikenal keras, kalau ngomong nggak bisa pelan, dan kebanyakan suka makan anjing. Image seperti itu tertanam hampir di kepala setiap orang yang bukan berasal dari suku batak, artinya rasisme bisa terjadi kapanpun dan dimanapun, tanpa kita sadari, because accepting stereotype and discriminate people by their race and skin color without realizing it, is a form of racism and being a racist.
Masalah rasisme dan colorisme gak hanya terjadi di Amerika, Selandia Baru, London, Jerman, dan negara-negara Eropa sana, tapi juga di Indonesia. Kalian gak lupa kan dengan kasus penangkapan mahasiswa Papua di Surabaya tahun lalu yang berujung diputusnya akses internet di Papua? Atau mungkin ada yang belum tau? Geez, man. Makanya kita harus sesekali buka mata dengan isu kemanusiaan di sekitar kita, sekalipun gue tahu, melelahkan sekali melihat berita di Indonesia yang gak jauh-jauh dari tingkah lucu pemerintah dan orang-orang di bawahnya.
Pada tahun 2016, Obby Kogoya, seorang mahasiswa Papua di Yogyakarta dikejar, ditangkap, dan dipukuli oleh polisi saat akan mengikuti sebuah aksi protes. Fakta yang paling memilukan adalah foto yang disebarkan menunjukkan hidungnya ditarik oleh polisi dan tangannya diborgol. Sementara pada bulan Agustus tahun lalu, tepatnya hari kemerdekaan Indonesia, sekitar empat puluh tiga mahasiswa ditangkap oleh polisi atas tuduhan perusakan bendera merah putih di depan asrama mahasiswa Papua di Surabaya. Asrama tersebut ditembaki gas air mata, dan didepan pagarnya dijaga ketat oleh beberapa anjing penjaga yang membuat mahasiswa tersudutkan dan secara tidak langsung ditekan. Beberapa kata rasis juga kerap dilontarkan oleh mereka, bersamaan dengan lemparan batu, dan yang membuat geram adalah tindakan penyerangan itu dilakukan tanpa investigasi sama sekali sebelumnya, alhasil tidak ditemukan bukti apapun yang menguatkan bahwa mahasiswa-mahasiswa ini adalah pelaku perusakan bendera tersebut. Hal-hal seperti ini sering terjadi namun penegakan hukum terhadap pelanggaran rasis dan HAM terhadap Papua seringkali bias dan tidak kunjung diselesaikan. Berdasarkan tulisan yang dimuat di The Jakarta Post, peristiwa ini menimbulkan kerusuhan di Papua dan Papua Barat yang menyebabkan setidaknya 33 kematian dan pemindahan “sekitar 8.000 orang asli Papua dan orang Indonesia lainnya,” menurut LSM Human Rights Watch. Sejak itu, lebih banyak polisi telah dikerahkan ke Papua. Namun, kasus ini hanya satu dari sekian banyak dalam sejarah pelanggaran terhadap orang Papua, termasuk pembunuhan orang Papua di Enarotali pada 2015 dan di Wamena pada 2012. Kekerasan seringkali disertai dengan kekerasan, seperti apa yang terjadi di Amerika Serikat.
What's so funny about this, pemerintah memutus akses internet di Papua sebagai tindakan untuk meredam massa dan mencegah penyebaran tindakan provokatif di dunia maya untuk mempercepat proses pemulihan keamanan. Polisi sebagai instansi yang seharusnya paham hukum pun sebaliknya malah lebih fokus mengusut penyebaran video rasis yang dilakukan oleh anggotanya karena tindakan tersebut dianggap sebagai tindakan provokatif dan curang. Tindakan pemerintah itupun justru menekan kebebasan orang Papua untuk mengekspresikan rasa frustrasi mereka atas diskriminasi rasial kepada media atau masyarakat internasional. Kebebasan mereka seakan dibungkam begitu saja, seolah-olah Papua menjadi yang paling terbelakang dan dianggap tidak bisa berbuat apa-apa jika pemerintah pusat telah menggunakan kekuasaannya. Ironisnya, walaupun Papua kaya akan sumber daya alam, provinsi tersebut memang menjadi yang terbelakang, khususnya dalam fasilitas pendidikan dan kesehatan.
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), persentase perpustakaan sekolah di Papua kurang dari 40 persen, sedangkan di provinsi lain lebih dari 50 persen. Selanjutnya, partisipasi sekolah adalah yang terendah di antara semua provinsi pada tahun 2017, yaitu 80,69 persen. Papua juga memiliki tingkat kemiskinan tertinggi di Indonesia pada tahun 2018, yaitu 27,43 persen, dibandingkan dengan Jakarta yang hanya sebesar 3,55 persen. Mungkin bagi kita, masalah ini hanyalah milik pemerintah dan tugas mereka untuk terus melakukan pembangunan secara berkala di tanah Papua, but this kind of thinking is partly due to the privilege of being born non-Papuan. Tidak mendapatkan perlakuan yang sama seperti apa yang menimpa orang Papua hanya karena memiliki ras berbeda dan warna kulit gelap adalah suatu privilege.
Sekarang gue ingatkan lagi kalian dengan sosok Fathur, mantan ketua BEM UGM yang sempat ramai di pemberitaan dengan "keberaniannya" mengkritik pemerintah pada aksi demokrasi mahasiswa Gejayan Memanggil September lalu. Sosoknya dielu-elu dan mendapat dukungan positif dari berbagai media, termasuk eksistensinya di media sosial diterima dengan sangat baik. Tadinya gue pikir ini adalah sebagian dari achievement dia, rezeki dia, tapi kalau kita membandingkan dengan kondisi Ferry Kombo yang juga adalah mantan Ketua BEM Universitas Cendrawasih, that my friend, is really the privilege of having lighter skin and being non-Papuan. Ferry Kombo dituntut atas tuduhan pasal makar dalam aksi unjuk rasa di Kota Jayapura, Papua pada Agustus 2019 lalu, buntut tindakan rasisme terhadap mahasiswa Papua di Surabaya. Dia bersama enam tahanan politik lainnya juga mendapat tuntutan hingga belasan tahun.
Berkaca pada kondisi tersebut, kasus George Floyd dan orang-orang Papua di Indonesia justru memiliki kesamaan. Mereka sama-sama korban dari rasisme sistematik. Karena sikap rasis bersarang di kepala aparat, mereka sebagai instansi yang berwenang lantas menggunakan kekuatan secara berlebihan bahkan untuk menghadapi isu-isu 'remeh', persis seperti yang terjadi pada George Floyd. Dia dibekuk polisi karena tuduhan membayar menggunakan uang palsu saat belanja di minimarket. Contoh yang cukup signifikan untuk menunjukan perbedaan perlakuan dari aparat terhadap orang Papua adalah, pelapor pada kasus perusakan bendera merah putih di Surabaya itu hanya dijatuhi hukuman penjara selama lima bulan, sementara Ferry Kombo, yang memimpin aksi unjuk rasa akibat kasus tuduhan perusakan bendera itu dituntut hukuman sepuluh tahun penjara. Pada kasus-kasus tuduhan makar sebelumnya pun, beberapa tertuduh hanya dijatuhi hukuman rata-rata selama lima bulan penjara. Padahal kalau memang dicurigai sebagai makar, hukuman yang diberikan bisa lebih dari itu, meaning bahwa ketimpangan hukum masih terasa jelas tumpulnya di negara kita.
Kalimat-kalimat ujaran rasis seperti menyebut orang berkulit hitam dengan nama binatang, dan "becandaan" bernada sarkas semacam; kamu cantik kayak orang Papua, yang mana merujuk pada warna kulit juga menunjukan bagaimana isu colorisme sangat kentara hidup di tengah-tengah kita. Orang-orang terbiasa dengan stereotip bahwa orang kulit putih/terang lebih wangi daripada orang berkulit hitam/gelap, orang kulit terang lebih cantik dan rupawan daripada mereka yang berkulit gelap. Sedihnya, stereotip ini harus didukung dengan realitas bahwa selebritis, pembawa acara, pembaca berita, influencer, sampai para aktivis yang disorot media selalu mereka yang berwarna kulit terang. Karena hal itu, gak sedikit orang yang berpikir bahwa orang berkulit hitam nggak bisa menjadi representasi yang baik untuk tampil di ruang publik. Sampai-sampai tingkat intelektual seseorang bisa ditentukan hanya karena warna kulitnya, just because Papuans are educationally and economically backward.
Segala hal yang kita saksikan dan hidup di tengah-tengah kita secara nggak langsung mendiskriminasi orang atau kelompok tertentu berdasarkan warna kulit and we get used to it after all these times. Bahkan produk-produk kecantikan yang diperjualbelikan seperti mendukung adanya opresi terhadap perbedaan warna kulit, karena orang yang berkulit gelap seakan dipaksa untuk memakai produk mereka—walaupun kebebasan membeli atau tidak terletak pada kontrol diri sendiri, tetapi model-model yang mengiklankan produk mereka selalu orang-orang yang berkulit putih dan terlihat "menjual", tanpa sadar dirinya adalah representasi dari colorisme. Terlepas dari itu, gue sih berterimakasih sama beberapa produk kosmetik yang willing untuk open terhadap isu ini dengan memperluas warna atau shade dari produk mereka, dan bahkan nggak segan memberi kesempatan terhadap model-model yang berwarna kulit gelap sebagai bagian dari perubahan.
Gue harap tulisan ini bukan sekadar dianggap kata-kata bual yang bisa dilupakan begitu aja. Sebaliknya, apa yang gue sampaikan bisa dipahami dan direnungi bahwa permasalahan rasisme/rasialisme dan diskriminasi golongan tertentu, dalam hal ini berdasarkan warna kulit, adalah isu kemanusiaan yang melemah di sekitar kita tapi sangat jarang didiskusikan. Malah semakin banyak orang yang mengkotak-kotakan perilaku atau kebiasaan orang lain berdasarkan ras, etnik, dan golongannya. Kita lupa bahwa manusia punya hak yang sama untuk hidup dan memperoleh kenyamanan, tanpa memandang apa warna kulitnya, dari mana dia berasal, dari suku atau ras apa dia lahir, dan apa keturunannya. Untuk apa HAM atau Human Rights ada jika pada akhirnya manusia bisa hidup sesuai dengan apa yang dia mau dengan menganggap orang yang tidak sama dengan dirinya adalah inferior alias lemah?
Mengutip kembali dari The Jakarta Post, with the recent death of George Floyd and the uprising of the Black Lives Matter movement, now, more than ever, is a time to reevaluate Indonesia's own racism and colorism. It would be a shame if we were to be abhorred by the situation in the United States, but remain blind to what happens in our country.
Terakhir, i put the link where you can get more information about Papua. You can also sign petition and donate here: We Need to Talk About Papua.
Sumber:
- https://www.thejakartapost.com/academia/2020/06/04/papuan-lives-matter-george-floyd-and-colorism-in-indonesia.html
- https://theconversation.com/lets-talk-more-about-racism-in-indonesia-123019
- https://asiatimes.com/2019/08/rasicm-to-papuans-humanity-law-enforcement-history-and-momentum-of-independence/
- https://tirto.id/kasus-rasisme-represi-seperti-george-floyd-berulang-di-indonesia-fEB6
4 komentar
Setuju mba Awl (betul ya namanya Awl? hihi), menurut saya, kita nggak bisa tutup mata kalau di Indonesia pun ada kasus serupa dan sebenarnya rasisme sudah mendarah daging juga di Indonesia ~ seperti pengkotakan suku yang mba Awl bahas di atas :>
BalasHapusOrang Batak begini, orang Padang begitu, orang Sunda A, orang Jawa B, and so on. Entah dari mana mulainya pengkotakan seperti ini, tapi sepertinya sudah waktunya untuk kita bergerak ke luar dari kotak-kotak tersebut untuk melihat dunia dari kacamata yang lebih besar :"D
Saya pribadi kesal waktu baca berita banyak orang Papua dipanggil monyet. Ditambah saya punya kerabat orang Papua, rasanya sakit kalau membayangkan kerabat saya dipanggil dengan sebutan seperti itu >,< semoga, Indonesia (pemerintah dan rakyatnya) mulai bisa pelan-pelan belajar dari kasus Blacklivesmatter kalau Papuan Lives also matter :)
Salam kenal dan maaf baru sempat berkunjung balik mba Awl :D
Betul mba, hehe, maaf banget aku baru buka blog lagi. Itulah, saya juga kesal karena beberapa orang menganggap masalah rasisme cuma terjadi di luar negeri dimana ada orang kulit hitam, african american, dsb. Padahal tendensi rasisme bisa terjadi juga di negara kita, apalagi yang "bhinneka tunggal ika" kyk gini. Semoga kedepannya semakin banyak orang yg aware soal isu ini ya, mba. Anyway salam kenal jugaa, makasi udh berkunjung mba hihi :D
HapusMiris bener tahu prilaku orang-orang kita juga masih bayak terpengaruh oleh streotipe ras dan suku. Aku pun sedih pas baca berita mengenai mahasiswa papua itu. Menunjukkan aparat kita tidak ubahnya sama kelakukan bar-barnya kayak polisi Amerika. Betul adanya kalo bentuk rasisme di negeri kita nyata terlihat di kehidupan kita.
BalasHapusExactly, mba! Yang bikin lebih miris lagi nih kayaknya setiap kali kita demo dan bicara isu rasisme gak ada yang didengar sama aparat sana. Malahan mereka sendiri gak sadar kalau beberapa anggota mereka banyak yang rasis. Akhirnya khawatir berbagai stereotip ras dan suku lama2 malah jadi kultur:(
Hapus