Menjadi Dewasa di Era Digital
This photo is belong to this incredible Japanese photographer: Akine Coco |
Seharusnya gue bersyukur bisa diberi kesempatan untuk beribadah dan memperbaiki diri oleh Allah, sehingga gue bisa mencicipi bagaimana pula rasanya hidup sebagai orang dewasa, yang harus bisa mandiri, yang harus bisa mengontrol segala perasaan yang muncul, yang harus bisa menjaga perasaan orang lain, yang harus bisa mengerti manusia lainnya, yang harus bisa mencari solusi dari setiap masalah sendiri, yang harus menangis sendiri saat orang-orang pergi dengan segala misi pribadinya, yang harus dihadapkan dengan segala sistem dan peraturan yang kadang gak masuk akal, dan yang harus lainnya.
Entah keadaan yang memaksa gue untuk jadi dewasa bahkan sebelum waktunya, atau memang gue hanya sedang menyangkal bahwa gue sebetulnya sudah cukup dewasa untuk merasa dewasa. Keduanya mungkin bisa iya atau nggak. Iya, gue dewasa sebelum waktunya, karena harus menghadapi gimana rasanya jadi anak broken home sedari kecil, sekaligus anak pertama yang mau nggak mau beban dan segala kesedihan dipeluk sendiri. Bisa juga nggak, karena gue mungkin hanya merasa menjadi orang dewasa itu sucks. Banyak hal yang diribetin, yang dibawa pusing, yang dibawa perasaan, yang gak bisa dibikin santai.
Dulu, saat masih kecil, perjalanan panjang di dalam bus atau kereta selalu menyenangkan karena gue bisa belajar banyak hal dari sekitar. Belajar mengamati orang-orang dewasa dengan segala tampang semrawut dan cueknya, memperhatikan pak supir dan kondekturnya yang seakan gak mengenal lelah nganterin penumpang, juga ngeliat objek-objek di jalanan sana. Pemandangan alam dan kehidupan selalu asik buat kita perhatiin sampe ngantuk. Sekarang, perjalanan sepanjang apapun nggak banyak yang bisa dinikmati kecuali pikiran yang bergulat sendiri. Mikirin kerjaan numpuk, deadline yang berdekatan, mikirin pasangan yang nggak ngehubungin kita, mikirin ortu dan keluarga di rumah, mikirin teman-teman di lingkungan kerja atau mereka yang menghilang total dari kehidupan kita, mikirin gaji yang serasa gak cukup buat memenuhi kebutuhan, semuanya menjadi lebih kompleks buat sekadar dipikirin. Belum lagi kenyataan bahwa kita hidup di jaman dimana perlombaan antar manusia seakan menjadi lebih jelas kelihatannya, sehingga banyak kekhawatiran-kekhawatiran yang datang tanpa diundang.
Dulu juga, saat masih kanak-kanak, gue ngerasa segala tindak tanduk gue gak berpengaruh untuk orang banyak. Apa yang gue lakuin semua murni dari hati, atau paling nggak karena pingin menang piala, dapet snack dan hadiah. Namun pada prosesnya, gue gak butuh pengakuan orang lain untuk membuat gue bisa berjalan di arena gue. Sekarang, semuanya berbanding terbalik. Gue merasa orang-orang seringkali terlalu ikut campur di arena balap gue, bikin semua yang gue kerjakan serasa tumpang tindih, antara niat, ambisi, dan emosi untuk bisa menghalau omongan-omongan gak mengenakan. Padahal bisa saja itu semua cuma sugesti gue, walaupun gak bisa dipungkiri, menjadi dewasa berarti mau nggak mau memang harus menerima banyak omongan pahit yang datang dari lingkungan sekitar. Semakin kesini, bahkan bukan cuma omongan yang datang dari mulut perseorangan lah yang jadi pressure, hal-hal abstrak dari pikiran sendiri pun bisa jadi tekanan. Misalnya, mudah iri ketika melihat orang-orang di luar sana yang udah selangkah lebih maju daripada gue. Mudah frustrasi karena merasa bahwa gue satu-satunya orang yang tertinggal. Beberapa hal itu seringkali gue alami di media sosial, yang parahnya, selama ini gue justru gak sadar bahwa dengan hal itu gue sudah menekan diri sendiri akibat kebodohan yang gak bisa mem-filter apapun yang gue lihat di media sosial.
Realita hidup di era digital memang lumayan pedih untuk orang-orang dewasa yang punya banyak problema. Kalau kita gak pintar memanfaatkan media sosial yang ada, bisa habis diri sendiri dibuat depresi karena kehidupan chill and gaul yang dipertontonkan orang lain. Omong-omong, kenapa gue sangkut pautin sama media sosial? Karena benda tak berbentuk itu buat gue pribadi cukup memberi pengaruh dalam keberlangsungan hidup gue. Terkhusus sisi gue yang akhir-akhir ini sering melo dan galau mengkhawatirkan masa depan. Gak jarang media sosial justru menyita waktu gue yang teramat berharga, padahal isinya cuma scrolling dan swipe gak jelas ngelihat hidup orang lain satu per satu.
Seperti di seri Black Mirror episode Nosedive, gue nggak menemukan alasan kenapa hidup kita harus diukur dari rank atau rating, dan kenapa ini harus mempengaruhi status sosio-ekonomi kita. Kalau rating kita di media sosial ada di bawah 3, maka jangan harap bisa dapat akses dengan mudah untuk pergi ke tempat-tempat tertentu. Bahkan untuk tinggal di apartemen mewah aja seseorang harus terdaftar di atas 4,5. Kalau sampai rate-nya turun, bisa-bisa diusir dari tempat tinggalnya sendiri. Kita memang gak sampai disana—atau belum, tapi dari seri itu gue belajar bahwa hidup harus berjalan sesuai dengan kapasitas kita, dan harus ada di bawah kendali kita. Jangan jadi Lacie yang sebegitu terobsesinya dengan rating tinggi sampai lupa diri sendiri, lupa saudara, lupa kalau dia juga manusia yang punya harga diri, yang bisa merasakan emosi, yang gak harus selalu pura-pura tersenyum dan ceria hanya untuk dapat rating tinggi setiap kali berinteraksi dengan orang lain, yang punya kebebasan buat melakukan apapun yang dia mau—ofc, selama itu baik. Jangan juga jadi Naomi yang dibutakan oleh peringkat sampe-sampe dia memandang teman lamanya sebagai barang yang pas harganya udah jatuh dia bisa buang begitu aja.
Enough with Black Mirror episode, menjadi dewasa di era sekarang gak cuma dihadapkan dengan eksistensi media sosial yang seringkali merenggut waktu produktif kita, tapi juga harus dihadapkan dengan orang-orang dewasa lain yang gak cukup dewasa untuk disebut dewasa. Kebebasan dalam berinternet gak lantas membuat semua orang terinformasi dan terpenuhi wawasannya dengan baik, karena nyatanya ada orang-orang yang gak bisa memilah konten apa yang baik untuk dirinya dan mana yang nggak. Alhasil akan banyak dijumpai orang-orang yang dibutakan oleh preferensi politiknya sendiri, menutup mata dan hati terhadap realita karena terlalu menyembah tindak tanduk sang idola, sampai-sampai gak tau caranya bertutur kata dengan baik kepada mereka yang berkomentar lain. Mereka gak sadar bahwa ada sosok manusia di balik akun-akun instagram, facebook, twitter, etc, yang mungkin kita bisa lebih hargai jika bertemu secara langsung. Gak cuma itu, tingkat kedewasaan seseorang di internet bisa dilihat dari cara dia memperlakukan seseorang. Gak sedikit yang merasa bebas untuk mengumpat atau mencaci orang lain yang dibenci, atau bahkan ngajak sex strangers yang bagi dia menarik. Cyber bullying, sexual harassment/verbal, adalah yang marak terjadi dan seringkali dianggap biasa. Lagi-lagi karena komunikasi tanpa tatap muka membuat kita hilang respek terhadap orang lain. Kita akhirnya seperti anak kecil yang harus disuapi caranya bersikap dan bertutur kata di internet, karena kehidupan nyata dan maya ibarat Ahmad Dani dan Maia yang gak bisa lagi disatukan.
Hidup di belahan mana pun realitasnya akan selalu sama. Termasuk hidup di dunia maya. Kita gak boleh lupa dengan identitas diri, yang punya kebebasan dan kontrol atas diri sendiri, supaya gak dengan mudahnya dikendalikan oleh media. Jaman sekarang tuh gak perlu sering denger ocehan tetangga, tapi lihat kehidupan mewah orang lain di instagram udah cukup bikin panas. Liat yang nikah, pengen ikutan nikah. Liat yang jalan-jalan ke LN, pengen ke LN juga. Liat yang udah punya anak, pengen punya anak juga. Segitu mudahnya keinginan kita tercipta. Lihat orang bikin video tiktok, ikutan juga. Yaa ini sih terserah ya, gue cuma agak geram sama yang pingin ikut-ikutan dalam urusan yang sifatnya besar dan personal like i said. Sebagai orang dewasa, harusnya kita tahu bahwa setiap orang punya pace-nya masing-masing, punya goals-nya masing-masing, punya prinsip masing-masing. Jangan jadi anak kecil yang selalu iri melihat pencapaian orang lain, yang selalu mudah tersulut lihat orang lain yang punya preferensi berbeda akan suatu hal, yang gak tau caranya berbicara dengan strangers—padahal gak sedikit anak kecil yang lebih tau tata krama daripada orang dewasa, yang sadar akan potensi diri sendiri dan mau untuk berkembang, yang terus jalan tanpa menghiraukan pandangan negatif di sekelilingnya.
Oh iya, sisi positifnya, gue jadi tahu bahwa gue bukan satu-satunya orang yang tertinggal. Ada ribuan orang di luar sana yang mungkin sama depresinya dengan gue, sama khawatirnya dengan gue soal masa depan. Dan ini membuat gue lebih sadar dan tenang, gak semua hal harus didapatkan dengan berlari. Maybe some of them do so, maybe not, dan gue salah satu dari sekian orang yang bergerak perlahan, merangkak, nungging, atau mungkin jalan jongkok. Better correct the words 'left behind' with 'chase behind', karena sesungguhnya semua orang hanya sedang saling mengejar, bukan sedang meninggalkan. Mengobservasi orang lain di media sosial juga kadang selalu jadi inspirasi buat gue nulis-nulis hal baru. Interesting, huh? Sama kayak hidup, yang ada ups and downs-nya. Sama kayak sifat manusia, yang ada lebih dan kurangnya, media sosial juga punya sisi positif dan negatifnya di kehidupan kita.
Menurut gue, sosok Ryan Pond, adik Lacie di episode Nosedive adalah representasi orang dewasa yang lumayan bisa jadi contoh untuk masyarakat yang hidup di tengah-tengah era digital seperti kita. Dia nggak peduli dengan peringkat, dengan segala privilege yang bisa dia dapat hanya dengan bertemu orang-orang dan bersikap sok friendly, dengan kepura-puraan yang ditampilkan Naomi, dengan media sosialnya sendiri yang cuma di-rate tiga koma sekian. Walaupun yang dia lakuin cuma main game, at least dia tahu apa yang mau dia lakukan. Dan setidaknya, dia nggak seperti orang-orang di luar sana yang penuh kepalsuan dan mau aja dibudaki media sosial.
Entah keadaan yang memaksa gue untuk jadi dewasa bahkan sebelum waktunya, atau memang gue hanya sedang menyangkal bahwa gue sebetulnya sudah cukup dewasa untuk merasa dewasa. Keduanya mungkin bisa iya atau nggak. Iya, gue dewasa sebelum waktunya, karena harus menghadapi gimana rasanya jadi anak broken home sedari kecil, sekaligus anak pertama yang mau nggak mau beban dan segala kesedihan dipeluk sendiri. Bisa juga nggak, karena gue mungkin hanya merasa menjadi orang dewasa itu sucks. Banyak hal yang diribetin, yang dibawa pusing, yang dibawa perasaan, yang gak bisa dibikin santai.
Dulu, saat masih kecil, perjalanan panjang di dalam bus atau kereta selalu menyenangkan karena gue bisa belajar banyak hal dari sekitar. Belajar mengamati orang-orang dewasa dengan segala tampang semrawut dan cueknya, memperhatikan pak supir dan kondekturnya yang seakan gak mengenal lelah nganterin penumpang, juga ngeliat objek-objek di jalanan sana. Pemandangan alam dan kehidupan selalu asik buat kita perhatiin sampe ngantuk. Sekarang, perjalanan sepanjang apapun nggak banyak yang bisa dinikmati kecuali pikiran yang bergulat sendiri. Mikirin kerjaan numpuk, deadline yang berdekatan, mikirin pasangan yang nggak ngehubungin kita, mikirin ortu dan keluarga di rumah, mikirin teman-teman di lingkungan kerja atau mereka yang menghilang total dari kehidupan kita, mikirin gaji yang serasa gak cukup buat memenuhi kebutuhan, semuanya menjadi lebih kompleks buat sekadar dipikirin. Belum lagi kenyataan bahwa kita hidup di jaman dimana perlombaan antar manusia seakan menjadi lebih jelas kelihatannya, sehingga banyak kekhawatiran-kekhawatiran yang datang tanpa diundang.
Dulu juga, saat masih kanak-kanak, gue ngerasa segala tindak tanduk gue gak berpengaruh untuk orang banyak. Apa yang gue lakuin semua murni dari hati, atau paling nggak karena pingin menang piala, dapet snack dan hadiah. Namun pada prosesnya, gue gak butuh pengakuan orang lain untuk membuat gue bisa berjalan di arena gue. Sekarang, semuanya berbanding terbalik. Gue merasa orang-orang seringkali terlalu ikut campur di arena balap gue, bikin semua yang gue kerjakan serasa tumpang tindih, antara niat, ambisi, dan emosi untuk bisa menghalau omongan-omongan gak mengenakan. Padahal bisa saja itu semua cuma sugesti gue, walaupun gak bisa dipungkiri, menjadi dewasa berarti mau nggak mau memang harus menerima banyak omongan pahit yang datang dari lingkungan sekitar. Semakin kesini, bahkan bukan cuma omongan yang datang dari mulut perseorangan lah yang jadi pressure, hal-hal abstrak dari pikiran sendiri pun bisa jadi tekanan. Misalnya, mudah iri ketika melihat orang-orang di luar sana yang udah selangkah lebih maju daripada gue. Mudah frustrasi karena merasa bahwa gue satu-satunya orang yang tertinggal. Beberapa hal itu seringkali gue alami di media sosial, yang parahnya, selama ini gue justru gak sadar bahwa dengan hal itu gue sudah menekan diri sendiri akibat kebodohan yang gak bisa mem-filter apapun yang gue lihat di media sosial.
Realita hidup di era digital memang lumayan pedih untuk orang-orang dewasa yang punya banyak problema. Kalau kita gak pintar memanfaatkan media sosial yang ada, bisa habis diri sendiri dibuat depresi karena kehidupan chill and gaul yang dipertontonkan orang lain. Omong-omong, kenapa gue sangkut pautin sama media sosial? Karena benda tak berbentuk itu buat gue pribadi cukup memberi pengaruh dalam keberlangsungan hidup gue. Terkhusus sisi gue yang akhir-akhir ini sering melo dan galau mengkhawatirkan masa depan. Gak jarang media sosial justru menyita waktu gue yang teramat berharga, padahal isinya cuma scrolling dan swipe gak jelas ngelihat hidup orang lain satu per satu.
Seperti di seri Black Mirror episode Nosedive, gue nggak menemukan alasan kenapa hidup kita harus diukur dari rank atau rating, dan kenapa ini harus mempengaruhi status sosio-ekonomi kita. Kalau rating kita di media sosial ada di bawah 3, maka jangan harap bisa dapat akses dengan mudah untuk pergi ke tempat-tempat tertentu. Bahkan untuk tinggal di apartemen mewah aja seseorang harus terdaftar di atas 4,5. Kalau sampai rate-nya turun, bisa-bisa diusir dari tempat tinggalnya sendiri. Kita memang gak sampai disana—atau belum, tapi dari seri itu gue belajar bahwa hidup harus berjalan sesuai dengan kapasitas kita, dan harus ada di bawah kendali kita. Jangan jadi Lacie yang sebegitu terobsesinya dengan rating tinggi sampai lupa diri sendiri, lupa saudara, lupa kalau dia juga manusia yang punya harga diri, yang bisa merasakan emosi, yang gak harus selalu pura-pura tersenyum dan ceria hanya untuk dapat rating tinggi setiap kali berinteraksi dengan orang lain, yang punya kebebasan buat melakukan apapun yang dia mau—ofc, selama itu baik. Jangan juga jadi Naomi yang dibutakan oleh peringkat sampe-sampe dia memandang teman lamanya sebagai barang yang pas harganya udah jatuh dia bisa buang begitu aja.
Enough with Black Mirror episode, menjadi dewasa di era sekarang gak cuma dihadapkan dengan eksistensi media sosial yang seringkali merenggut waktu produktif kita, tapi juga harus dihadapkan dengan orang-orang dewasa lain yang gak cukup dewasa untuk disebut dewasa. Kebebasan dalam berinternet gak lantas membuat semua orang terinformasi dan terpenuhi wawasannya dengan baik, karena nyatanya ada orang-orang yang gak bisa memilah konten apa yang baik untuk dirinya dan mana yang nggak. Alhasil akan banyak dijumpai orang-orang yang dibutakan oleh preferensi politiknya sendiri, menutup mata dan hati terhadap realita karena terlalu menyembah tindak tanduk sang idola, sampai-sampai gak tau caranya bertutur kata dengan baik kepada mereka yang berkomentar lain. Mereka gak sadar bahwa ada sosok manusia di balik akun-akun instagram, facebook, twitter, etc, yang mungkin kita bisa lebih hargai jika bertemu secara langsung. Gak cuma itu, tingkat kedewasaan seseorang di internet bisa dilihat dari cara dia memperlakukan seseorang. Gak sedikit yang merasa bebas untuk mengumpat atau mencaci orang lain yang dibenci, atau bahkan ngajak sex strangers yang bagi dia menarik. Cyber bullying, sexual harassment/verbal, adalah yang marak terjadi dan seringkali dianggap biasa. Lagi-lagi karena komunikasi tanpa tatap muka membuat kita hilang respek terhadap orang lain. Kita akhirnya seperti anak kecil yang harus disuapi caranya bersikap dan bertutur kata di internet, karena kehidupan nyata dan maya ibarat Ahmad Dani dan Maia yang gak bisa lagi disatukan.
Hidup di belahan mana pun realitasnya akan selalu sama. Termasuk hidup di dunia maya. Kita gak boleh lupa dengan identitas diri, yang punya kebebasan dan kontrol atas diri sendiri, supaya gak dengan mudahnya dikendalikan oleh media. Jaman sekarang tuh gak perlu sering denger ocehan tetangga, tapi lihat kehidupan mewah orang lain di instagram udah cukup bikin panas. Liat yang nikah, pengen ikutan nikah. Liat yang jalan-jalan ke LN, pengen ke LN juga. Liat yang udah punya anak, pengen punya anak juga. Segitu mudahnya keinginan kita tercipta. Lihat orang bikin video tiktok, ikutan juga. Yaa ini sih terserah ya, gue cuma agak geram sama yang pingin ikut-ikutan dalam urusan yang sifatnya besar dan personal like i said. Sebagai orang dewasa, harusnya kita tahu bahwa setiap orang punya pace-nya masing-masing, punya goals-nya masing-masing, punya prinsip masing-masing. Jangan jadi anak kecil yang selalu iri melihat pencapaian orang lain, yang selalu mudah tersulut lihat orang lain yang punya preferensi berbeda akan suatu hal, yang gak tau caranya berbicara dengan strangers—padahal gak sedikit anak kecil yang lebih tau tata krama daripada orang dewasa, yang sadar akan potensi diri sendiri dan mau untuk berkembang, yang terus jalan tanpa menghiraukan pandangan negatif di sekelilingnya.
Oh iya, sisi positifnya, gue jadi tahu bahwa gue bukan satu-satunya orang yang tertinggal. Ada ribuan orang di luar sana yang mungkin sama depresinya dengan gue, sama khawatirnya dengan gue soal masa depan. Dan ini membuat gue lebih sadar dan tenang, gak semua hal harus didapatkan dengan berlari. Maybe some of them do so, maybe not, dan gue salah satu dari sekian orang yang bergerak perlahan, merangkak, nungging, atau mungkin jalan jongkok. Better correct the words 'left behind' with 'chase behind', karena sesungguhnya semua orang hanya sedang saling mengejar, bukan sedang meninggalkan. Mengobservasi orang lain di media sosial juga kadang selalu jadi inspirasi buat gue nulis-nulis hal baru. Interesting, huh? Sama kayak hidup, yang ada ups and downs-nya. Sama kayak sifat manusia, yang ada lebih dan kurangnya, media sosial juga punya sisi positif dan negatifnya di kehidupan kita.
Menurut gue, sosok Ryan Pond, adik Lacie di episode Nosedive adalah representasi orang dewasa yang lumayan bisa jadi contoh untuk masyarakat yang hidup di tengah-tengah era digital seperti kita. Dia nggak peduli dengan peringkat, dengan segala privilege yang bisa dia dapat hanya dengan bertemu orang-orang dan bersikap sok friendly, dengan kepura-puraan yang ditampilkan Naomi, dengan media sosialnya sendiri yang cuma di-rate tiga koma sekian. Walaupun yang dia lakuin cuma main game, at least dia tahu apa yang mau dia lakukan. Dan setidaknya, dia nggak seperti orang-orang di luar sana yang penuh kepalsuan dan mau aja dibudaki media sosial.
2 komentar
Suka sama kata "better correct the words 'left behind' with 'chase behind'" karena itu yang sebenernya terjadi dalam kehidupan aku. tanpa sadar aku selalu mengecap diri itu 'left behind' karena merasa diri ini itu bukan apa apa dan gak bisa apa apa. :'(
BalasHapusdan aku pun akhirnya takut bahkan hampir menolak menjadi dewasa.
keep going, Ai!! terus berkarya and stay safe!! ❤️
tencuuu my bestie!♥️ nah kan, aku jd baru tau jg kalo kita ternyata pernah sama2 ngerasa tertinggal😭 dan kayaknya karena segala ketakutan itu dh yg justru bikin aku jg nolak buat dewasa😭 ayo kita sama2 berjuang, kejar tujuan2 kitaa, stay safe juga saar♥️ semangat berkarya!!💪🏻💪🏻
Hapus